Jumat, 04 Juli 2014

Pengen nostalgia dengan zaman dimana Gue merasakan indahya masa kecil. Bagaimana tidak di setiap waktu kita disuguhi dengan sajian acara televisi yang benar-benar menghibur. Bukan acara komedi joged-joged berhadiah, atau acara orang naik naga terbang, apalagi main bola sama jungkir balik.

Dulu di tahun 90-an, ada banyak televisi yang muter kartun anak-anak, bahkan hampir semua stasiun televisi. ada yang muter tiap hari, dari jam siang sampe sore, ada juga yang tiap minggu pagi dari jam 6 pagi sampe jam 10. masa kecil anak-anak generasi tahun 90-an emang bener-bener dimanjakan ya.

Oke, langsung saja inila kartun yang pernah tayang bahkan booming di tahun 90-an sampe 2000-an.


1. Captain Tsubasa


Siapa sih yang nggak tahu Tsubasa Ozora? Katun ini sering menjadi panutan anak-anak ketika dia bermain bola. Kartun dengan sountrack yang masih Gue hafal sampai saat ini "lari lari lari ( lari lari lari) tendang dan berlari". Tsubasa membawa kesebelasan sekolahnya menjadi juara, dan membawa tim junior jepang menjuarai turnamen antar tim junior bersama Hyuga, Misaki, Matsuyama dan lain-lain.

2. Dragon Ball


Kartun karangan Akira Toriyama ini bisa dibilang kartun sepanjang masa. dari saya masih bayi (mungkin) sampe saat ini masih suka di puter di televisi. kartun yang ada dari oom saya masih SMP sampe sekarang udah punya anak. Dragon Ball bercerita tentang seorang bocah bernama SonGoku yang hidup di tengah gunung sendirian. Dia lalu bertemu dengan Bulma, seorang gadis muda yang berusaha mengumpulkan 7 bola ajaib yang katanya bisa mengabulkan semua keinginan. Bola-bola tersebut dinamakan Dragon Ball. Bahkan saking panjang ceritanya, Songoku ini sampai punya anak cucu, Songohan sama siapa lagi saya lupa.


3. Doraemon
Ini baru kartun sepanjang masa. nggak kalah panjangnya sama Dragon Ball. bahkan amsih diputer sampe sekarang. dan entah udah ada berapa episode aja kartun ini dibuat. nggak cuma serinya tapi juga film layar lebar. Doraemon adalah karya dari Fujiko Fujio yang bercerita tentang Nobita dan kucing dari abad 21.

4. Pokemon


Serial TV dan film teater Pokémon merupakan versi pengembangan dari seluruh seri permainan video Pokémon. Karakter utama dalam serial TV Pokémon adalah Ash Ketchum (alias Satoshi di versi Jepang).Ia bersama rekan-rekannya saling bahu membahu dalam perjalanan. Rekan-rekan Ash adalah Brock (versi Jepang: Takeshi, mantan pemimpin gym Pewter City), Misty (versi Jepang: Kasumi, pemimpin gym Cerulean City), Tracey Sketchit (Kenji), May (versi Jepang: Haruka, dari kota Petalburg), Max (Masato), dan Dawn (Hikari). Musuh utama tim ini adalah Team Rocket yang dipimpin oleh Giovanni Sakaki dengan anak buahnya yang selalu mengikuti kemanapun Ash pergi yaitu Jessie (Musashi), James (Kojiro), Meowth (Nyasu), dan Wobbuffet (Sonansu).

6. Digimon


Digimon (Dejimon) yang merupakan singkatan dari Digital Monster (Dejitaru Monsutā) adalah waralaba media dari Jepang untuk anak-anak yang dibuat dalam bentuk anime, manga, permainan video, permainan kartu, mainan, aksesoris barang, dan media lainnya. Diciptakan oleh tokoh misterius yang tidak pernah dikenal publik termasuk perannya dalam penciptaan Digimon yang bernama Akiyoshi Hongo. Digimon dirilis pertama kali oleh perusahaan Bandai pada tanggal 26 Juni 1997. Karena kesuksesannya, generasi kedua Digimon dirilis pada bulan Desember tahun itu juga dan diikuti oleh generasi ketiga pada tahun 1998.

7. Ninja Hattori


Ninja Hattori-kun adalah serial manga oleh Fujiko Fujio yang kemudian diadaptasi menjadi sebuah drama TV, serial anime, dan permainan video.Di Indonesia,serial ini ditayangkan di RCTI tahun 90-an & Spacetoon (Indonesia) tahun 2011.
Serial ini bercerita tentang Kenichi Mitsuba (10 tahun) adalah anak biasa yang pergi ke sekolah dasar untuk belajar. Sementara itu seorang ninja kecil bernama Hattori Kanzo berteman dengan Kenichi. Hattori yang sekarang menjadi bagian dari keluarga Mitsuba bersama dengan saudaranya, Shinzou dan anjing ninjanya, Shishi-Maru. Hattori membantu Kenichi dengan berbagai masalah yang dihadapinya dan terus menjaganya sebagai seorang teman yang baik. Yumeko-chan adalah gadis yang disukai oleh Kenichi. Sedangkan Kimimaki, seorang Ninja dari Koga dan kucing ninjanya, Kagekiyo ( masing-masing disebut Amara dan Kiyo dalam versi India) selalu membuat masalah dengan Kenichi. Kenichi meminta Hattori untuk membalas dendamnya. Meskipun Hattori adalah teman yang baik, Kenichi kadang-kadang berkelahi dengan Hattori karena kesalahpahaman yang dibuat oleh Kemumaki. Kadang-kadang Jippou, Togejirou dan Tsubame juga membantunya.Film ini memiliki alur cerita mirip Doraemon.

8. P-Man


P-Man adalah serial televisi yang becerita tentang seorang super hero bernama Bird-Man yang bertugas menjaga keamanan di alam semesta ini. Untuk menjaga keamanan bumi, Bird-Man menugaskan seorang anak kelas 4 SD yang bernama Mitsuo yang jika menggunakan jubah dan topengnya dapat berubah menjadi P-Man. Namun karena Mitsuo tetap seorang anak yang mempunyai kewajiban untuk sekolah, dll, jika dia harus menjadi P-Man, Bird-Man memberi dia sebuah robot yang dapat menggantikan tugasnya sebagai Mitsuo.
Dalam menjalankan tugasnya P-Man dibantu oleh P-Girl, Booby dan Fat-Man. Sedangkan sebagai Mitsuo dia memiliki tiga orang teman yang bernama Kabao, Sabu dan gadis cantik teman sekolahnya yang disukainya yang bernama Mi-Chan. Mitsuo juga memiliki adik perempuan yang bernama Ganko. Ganko yakin P-Man itu adalah kakaknya sendiri yang bernama Mitsuo, tapi dia tidak pernah bisa membuktikan hal tersebut.

13. Beyblade


Beyblade (Beiburēdo) adalah judul sebuah serial anime dan manga buatan Takao Aoki dan Takafumi Adachi yang bercerita tentang sekelompok anak-anak yang bertarung dengan menggunakan gasing-gasing canggih dan memiliki kekuatan-kekuatan tertentu. Tokoh utama serial ini adalah seorang anak kelas VIII bernama Tyson Granger (Kinomiya Takao dalam bahasa Jepang dan Indonesia), dan temannya, Kai Hiwatari, Ray Kon dan Max Tate. Takao dan kelompoknya banyak bertemu dengan teman-teman, musuh ataupun saingan baru dalam perjalanan.
Beyblade pertama kali muncul tahun 1999 dalam bentuk manga dan mainan yang hanya beredar di Jepang. Setelah versi manganya meraih sukses, Beyblade versi anime kemudian diluncurkan; tak hanya di Jepang, melainkan juga di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, China, Eropa, dan Indonesia. Di Jepang, anime Beyblade berhenti tayang sejak tahun 2004, namun pada bulan Juli 2006, anime ini kembali ditayangkan oleh Indosiar dan juga berhenti pada tahun 2007.

14. Let's Go


Let’s and Go bercerita tentang adik kakak yang gemar sekali bermain tamiya yaitu Retsu dan Go. Retsu memiliki tamiya bernama Sonic Saber dan Go memiliki tamiya bernama Magnum Saber. Yang saya inget tamiya mereka berubah atau evolusi dari manum saber, victory magnum, cyclone magnum kalo nggak salah sih :D

15. Detective Conan

Detektif Conan (Meitantei Konan) adalah sebuah serial manga detektif yang ditulis dan digambar oleh Gōshō Aoyama. Serial ini menceritakan tentang Shinichi Kudo, seorang detektif sekolah menengah atas, yang tubuhnya mengecil akibat sebuah racun.
Shinichi Kudo, seorang detektif SMA berusia 17 tahun yang biasanya membantu polisi memecahkan kasus, diserang oleh 2 anggota sindikat misterius ketika mengawasi sebuah pemerasan. Ia kemudian diberi minum racun misterius yang baru selesai dikembangkan untuk membunuhnya. Namun, karena sebuah efek samping yang jarang terjadi yang tidak diketahui anggota sindikat tersebut, racun tersebut mengakibatkan tubuhnya mengecil seperti anak kecil berusia tujuh tahun setelah mereka meninggalkannya.
Untuk menyembunyikan identitasnya dan untuk menginvestigasi keadaan sindikat tersebut, yang selanjutnya dikenal dengan nama Organisasi Berbaju Hitam atau Organisasi Hitam, dia menyamarkan namanya menjadi Conan Edogawa. Untuk mencari jejak sindikat tersebut, dia tinggal bersama dengan teman sejak kecilnya, Ran Mouri, yang ayahnya, Kogoro Mouri, merupakan seorang detektif swasta Dia bersekolah di SD Teitan dan membentuk Grup Detektif Cilik dengan 3 teman sekelasnya, yaitu: Ayumi Yoshida, Mitsuhiko Tsuburaya, dan Genta Kojima. Meskipun tubuhnya mengecil, ia tetap memecahkan kasus. Biasanya, ia menyelesaikan kasus-kasus tersebut dengan meniru suara Kogoro Mouri dengan alat yang diciptakan oleh tetangganya, Profesor Agasa.

16. Crush Gear


Crush Gear Turbo (Gekito! Crush Gear Turbo), atau sering disebut sebagai Crush Gear, adalah judul sebuah serial anime dan manga yang diproduksi oleh Sunrise dalam 68 episode. Filmnya sendiri pertama kali disiarkan di Jepang oleh jaringan televisi Animax sejak 7 Oktober 2001 sampai tanggal 26 Januari 2003. Film itu kemudian dilanjutkan oleh sekuelnya Crush Gear Nitro yang juga disiarkan oleh Animax di Jepang. Pengalaman dulu pernah punya Shooting mirage sama dino spartan, lawan punya temen pake Gaiki yang kotak batrenya bisa maju-maju. :D

Posted on 13.57 by Unknown

1 comment

Selasa, 24 Juni 2014

Pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya dikelola, baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal tersebut bisa tercapai apabila siswa dapat menyelesaikan pendidikan tepat pada waktunya dengan hasil belajar yang baik. Beberapa faktor diantaranya yang dapat mempengaruhi hasil belajar peserta didik adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan menerapkan metode-metode yang tepat, dan cara yang disukai peserta didik pada saat belajar.
Ketidaksesuaian beberapa faktor di atas dapat mempengaruhi hasil belajar peserta didik. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa penguasaan siswa terhadap kompetensi mata pelajaran yang dibelajarkan masih rendah. Dari beberapa mata pelajaran yang dibelajarkan di sekolah salah satunya adalah mata pelajaran Fisika. Fisika merupakan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk menunjang keberhasilan belajar dalam menempuh pendidikan lebih lanjut.
Faktor-faktor yang dimaksud di atas diantaranya adalah seperti kurangnya pemahaman, penguasaan materi pelajaran, cara penyajian pelajaran yang kurang/tidak sesuai, siswa yang kurang menyukai pelajaran itu sendiri serta daya intelegensi yang rendah. Tetapi umumnya faktor-faktor di atas juga dipengaruhi oleh gaya belajar siswa. Gaya belajar siswa berperan sebagai saringan untuk pembelajaran, pemrosesan dan komunikasi. Oleh sebab itu, pembelajaran
Fisika yang umumnya dikenal sulit bagi siswa membutuhkan tipe gaya belajar yang tepat yang sesuai dengan metode pembelajaran agar mata pelajaran Fisika lebih disukai dan memicu kreativitas belajar yang akhirnya akan mendapatkan hasil belajar yang lebih baik.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa salah satu faktor penting yang diduga menyebabkan rendahnya hasil belajar Fisika adalah gaya belajar siswa yang tidak sesuai dengan ragam metode pembelajaran di kelas. Untuk mengetahui apakah kesesuaian ragam metode pembelajaran dan gaya belajar siswa dapat mempengaruhi hasil belajar Fisika. Untuk melihat pengaruhnya, maka perlu untuk dilakukan penelitian dengan judul “pengaruh metode pembelajaran dan gaya belajar terhadap hasil belajar”.
Pengertian Gaya Belajar
Menurut Gunawan (2004), gaya belajar adalah cara yang lebih kita suka dalam melakukan kegiatan berpikir, memproses dan mengerti suatu informasi. Misalnya jika kita ingin mempelajari mengenai tanaman, apakah kita lebih suka nonton video soal tanaman, mendengarkan ceramah, membaca buku ataukah kita bekerja langsung di perkebunan atau mengunjungi kebun raya. Menurut De Porter & Hernacki menyatakan bahwa gaya belajar seorang anak adalah kombinasi bagaimana anak tersebut menyerap, kemudian mengatur dan mengolah informasi. Sedangkan menurut Marsha (1996), menyatakan gaya belajar merupakan hal yang penting karena pendidikan disesuaikan dengan keunikan individu. Perbedaan individu harus dihargai karena gaya belajar merupakan ungkapan dari keunikan setiap orang. Dengan individu, merupakan bentuk nyata identitas seseorang, bersama-sama, gaya belajar juga menyampaikan kesempurnaan budaya kita. Mortimore (2008), dalam bukunya
Dyslexia and Learning Style menyatakan bahwa gaya belajar merupakan satu aspek dari gaya kognitif, hal ini menandakan bahwa adanya perbedaan antara gaya belajar dengan gaya kognitif. Perbedaan-perbedaan ini penting karena gaya kognitif secara otomatis dilakukan seseorang dalam memproses stimulasi yang datang dan gaya belajar dapat dilihat dalam hal strategi bagaimana seorang siswa mengatasi tugas-tugas dan situasi belajar. Messick (1996) mengusulkan bahwa gaya kognitif individu bervariasi dan terkait dengan perbedaan individu. Sims & Sims (1995), menyatakan bahwa bagaimana seseorang belajar merupakan konsep fokus dari gaya belajar. Gaya belajar dapat didefinisikan sebagai karakteristik kognitif, afektif, dan perilaku-perilaku psikologis yang berlaku sebagai indikator bahwa pembelajar relatif stabil dalam merasakan adanya interaksi dengan/dan merespon terhadap lingkungan belajar.

Pengertian Hasil Belajar
Belajar dan mengajar merupakan konsep yang tidak bisa dipisahkan. Dua konsep tersebut dilakukan oleh siswa dan guru terpadu dalam satu kegiatan.

Hal ini seiring dengan apa yang kemukakan oleh Sudjana (2004:22), bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Selain itu, menurut Gagne dan Driscoll (1988:36) hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa sebagai akibat perbuatan belajar dan dapat diamati melalui penampilan siswa.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa melalui proses belajar mengajar yang dinyatakan dengan angka-angka atau nilai-nilai berdasarkan tes hasil belajar Fisika.

Pengertian Metode Pembelajaran
Menurut Sudjana (2005:76) metode pembelajaran ialah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran”. Sedangkan menurut Sutikno (2009: 88) menyatakan, “Metode pembelajaran adalah cara-cara menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses pembelajaran pada diri siswa dalam upaya untuk mencapai tujuan”.
a. Metode Pembelajaran Kooperatif
Menurut Slavin pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok, siswa dalam satu kelas dijadikan kelompok - kelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai 5 orang untuk memahami konsep yang difasilitasi guru. Smith dan Gregor (1992) mendefinisikan cooperative learning sebagai “the most carefully structured end of the collaborative learning contiunuum” (Ravenscroft, 1995). Johnson, Johnson dan Holubec (1994) mendefinisikan cooperative learning sebagai “the instructional use of small groups so that students work together to maximize their own and each other’s learning” (Phipps et al., 2001).
b. Metode Pembelajaran Berbasis Masalah
Penyampaian materi dengan menggunakan metode pembelajaran berbasis masalah memungkinkan menggunakan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan seperti halnya pelajaran Fisika yang terkait dekat dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai yang dikemukakan Abbas, (2000: 12) menyatakan bahwa metode pembelajaran berbasis masalah adalah metode pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik, sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri. Metode ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan menyelesaikan masalah, serta mendapatkan pengetahuan konsep-konsep penting. Begitu juga dengan H.S. Barrows (1982) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah sebuah metode pembelajaran yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah (problem) dapat digunakan sebagai titik awal untuk mendapatkan atau mengintegrasikan ilmu (knowledge) baru.
Dengan demikian, masalah yang ada digunakan sebagai sarana agar anak didik dapat belajar sesuatu yang dapat menyokong keilmuannya.
Metode Pembelajara
Siswa yang belajar dengan metode pembelajaran kooperatif lebih unggul daripada siswa yang belajar dengan metode pembelajaran berbasis masalah. Hal ini dapat difahami bahwa metode pembelajaran yang mengacu pada metode pengajaran dimana siswa bekerja bersama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar, hal ini dilakukan dengan partisipasi tinggi setiap siswa. Dengan metode ini, mengarahkan cara belajar siswa menuju belajar yang lebih baik, sikap tolong-menolong dalam perilaku sosial, seperti menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan ide. Peluang untuk diskusi sangat besar untuk dilakukan. Sedangkan metode pembelajaran berbasis masalah merupakan metode yang didasarkan pada prinsip menggunakan masalah sebagai titik awal pembelajaran. Penyampaian materi dengan metode ini memungkinkan menggunakan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan. Hanya saja siswa dalam upaya penyelesaian masalah yang diberikan tidak bekerjasama dengan siswa lainnya atau siswa tidak bekerja dalam kelompok-kelompok kecil. Sehingga siswa berupaya menuangkan idenya sendiri secara maksimal. Sharing informasi antar siswa kemungkinan kecil terjadi.
2. Metode Pembelajaran dan Gaya Belajar
Hasil perhitungan uji lanjut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar Fisika antara siswa yang memiliki gaya belajar visual yang belajar dengan metode pembelajaran kooperatif dan siswa yang memiliki gaya belajar visual yang belajar dengan metode pembelajaran berbasis masalah.
Siswa yang memiliki gaya belajar visual yang belajar dengan metode pembelajaran kooperatif lebih unggul daripada siswa yang memiliki gaya belajar visual yang belajar dengan metode pembelajaran berbasis masalah. Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa siswa bekerja bersama dalam kelompok sehingga berbagi informasi sangat mudah untuk dilakukan. Mereka juga dapat memanfaatkan informasi baik secara lisan maupun dalam bentuk gambar-gambar. Hal ini sesuai bagi mereka yang memiliki kecenderungan gaya belajar visual. Bagi siswa yang memiliki kecenderungan gaya belajar visual, mereka lebih mengingat apa yang dilihat daripada apa yang didengar. Mereka melihat dengan asosiasi visual dan biasanya tidak terganggu oleh keributan. Apalagi berbagai informasi mereka lakukan dalam bentuk diskusi yang dilengkapi visualisasi.
Karakter siswa dengan gaya belajar visual cenderung lebih cepat menyerap informasi dengan melihat bagaimana guru menerangkan di depan kelas baik dengan alat bantu tulisan, data maupun gambar. Mereka berbicara dengan cepat, perencanaan dan pengatur jangka panjang yang baik. Mereka mementingkan penampilan baik dalam pakaian maupun presentasi. Mereka pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata atau tulisan yang sebenarnya dalam pikiran mereka.
Bagi siswa yang belajar dengan metode pembelajaran berbasis masalah berpeluang besar belajar dengan kemampuan sendiri sehingga gagasan yang muncul merupakan hasil dari apa yang difikirkan. Artinya kerjasama dengan siswa lain dapat dinyatakan sangat kecil. Selain itu, sebagaimana dinyatakan pada paragraf di atas bahwa siswa yang memiliki kecenderungan gaya belajar visual, mereka lebih mengingat apa yang dilihat daripada apa yang didengar.
Oleh karena itu, kesesuaian metode pembelajaran dan gaya belajar harus sesuai satu sama lain yang didukung dengan fasilitas yang relevan.

Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
a) Terdapat Pengaruh antara Metode Pembelajaran Kooperatif dan Metode Pembelajaran Berbasis Masalah Hasil belajar siswa yang belajar dengan Metode Pembelajaran Kooperatif lebih tinggi daripada hasil belajar siswa yang belajar dengan Metode Pembelajaran Berbasis Masalah
b) Terdapat Pengaruh antara Siswa yang Belajar dengan Metode Pembelajaran Kooperatif yang memiliki Gaya Belajar Visual dan Siswa yang Belajar dengan Metode Pembelajaran Berbasis Masalah yang memiliki Gaya Belajar Visual Hasil belajar siswa yang memiliki gaya belajar Visual yang belajar dengan Metode Pembelajaran Kooperatif lebih tinggi daripada hasil belajar siswa yang memiliki gaya belajar Auditorial yang belajar dengan Metode Pembelajaran Berbasis Masalah.
c) Terdapat Interaksi antara Metode Pembelajaran dan Gaya Belajar Terdapat pengaruh antara metode pembelajaran dan gaya belajar terhadap hasil belajar.


2. Saran
Guru dan Orang tua
Guru dan orang tua senantiasa memahami perkembangan anak, guru dapat memahami perkembangan anak di dalam kelas sedangkan orang di lingkungan keluarga. Oleh karena itu, cara terbaik untuk memberikan stimulasi belajar pada siswa adalah memberi dukungan penuh pada minatnya dan menyediakan aneka ragam kebutuhan belajarnya untuk menunjang kesinambungan proses pemaknaan belajarnya. Misalnya anak merasa tidak mengerti dengan penjelasan guru tentang metamorfosis kupu- kupu, maka orang tua dapat membantu dengan diskusi di rumah. Jika perlu menyediakan CD/ film dan berbagai alat peraga (stimulasi visual) dan menyediakan sarana untuk percobaan (memelihara ulat dalam botol dan diamati sampai menjadi kupu-kupu).

Posted on 15.19 by Unknown

1 comment


“We’ve wired the schools — now what?” This question resonates with educators, and troubles them at the same time. After countless local and national efforts have boosted the infrastructure of our schools, the significant issues now arise. Should we continue to pump money into educational technology for our schools? Do computers really help students learn? How can students and teachers best learn from the World Wide Web and its content? These questions are not new, nor unique to the dawn of Internet-connected schools. Earlier technologies, This evidence is but a taste of the rich and compelling research studies that demonstrate students learning from technology. Regardless of the means—be it television or computer, or even computer-delivered streaming video—when content is presented with purpose, the student can experience the content and attach the new information to that which is already known. This process of creating associations and making meaning is part of learning. Educational technologies expand our access to new information and support our efforts to make meaning.
On September 29, 1989, leaders of the cable industry—38 CEOs in all—sat together to found the Cable Alliance for Education, a non-profit foundation with a mission to support excellent education work across the industry. It was indeed an alliance—a national consortium of cable operators and networks—aimed at serving teachers and students in K-12 schools across the country, and based on the premise that powerful technology and rich content can help make learning happen.
The cable industry’s unfaltering commitment to education has continued from that day to this. And this Alliance for Education, renamed Cable in the Classroom, now stands at the threshold of its own renaissance. Our own revitalization began with fresh perspective and a simple question: given the last decade’s developments in learning theory and technology, and given technology’s pervasiveness in schools, how can we reshape and refocus our work in a way that will benefit learners to the greatest extent possible? We are led by an educational philosophy, which holds that every student and teacher has a right to five elements essential to a good education in the 21st century:
• Visionary and sensible use of technology to extend learning
• Engagement with deep, rich content
• Membership in a meaningful community of learners
• Excellent teaching
• Support of parents and other adults.
As the founders of Cable in the Classroom were in 1989, we are still compelled by the explosion of media and developing technologies and their power to affect learning. And as always, we are driven by the absolute truth that good teaching and good learning are the most potent forces on earth. Without them, After 30 years on the Columbia University faculty, I now spend all my time examining the learning outcomes available from technology. Despite that concentration, I still benefited from Marshall’s close analysis of how technology advances learning. At a time when landmark federal legislation—the “No Child Left Behind” Act of 2002—makes 110 references to “evidence-based” decisions about teaching and learning, this review of the empirical data is particularly helpful.
Technology is anything that extends human capability. Technology got started when chimpanzees concluded that a stick in the fist was more persuasive than an empty hand. People continue to debate the merits of learning technology in policy forums and in practical settings. Marshall’s review of the dynamics beneath the uneven trajectory of classroom adoption of technology is apt, particularly when coupled with the evidence he assembles about the positive contributions of TV. Like any technology, TV can be turned to purposes that are bad, indifferent, or good. Marshall does everyone a service in recalling our attention to the positive gains from this ubiquitous medium.
Whatever the outcomes of adult pondering, we are fortunate to be led by little children. Consider the dominance of technology platforms in the responses of 6- to 11-year-olds to the question, “What makes a new subject in school most interesting to me?”
• Internet 34%
• TV program 24%
• Teacher 26%
• Textbook 12%
Source: USA Today
Ask a child to picture “learning,” and the classroom and the teacher naturally come to mind. Classrooms, teachers, desks, paper, and pencil are all part of the traditional learning environment. The past century has supplemented and enriched this traditional environment with new ways of presenting content for learning.
Today, opportunities abound for learning through multiple media—from pictures, overhead projectors, and filmstrips to moving pictures, videos, and computers. And yet, do these educational technologies and the content that they provide result in learning? Extensive research into learning with technology provides conclusive evidence that people can, and do, learn from educational technologies. Our exploration of educational technology begins with “Highlights in the Evolution of Educational
Technology,” an abbreviated history of technological developments across the 20th century. We limit the focus to technologies employed for educative pursuits. Historical evidence suggests that technology can, and did, teach.
“The Process of Learning: A Learning Primer” provides a buffet of theories that address how people learn. We discuss learning as both a neurological process and a result of interacting with the environment around us.

Highlights in The Evolution of Educational Technology
The term “educational technology” often brings to mind the hard technologies—the tangible “stuff”— used for teaching and presenting content — in other words, the medium. From simple graphical illustrations and projectors for film and filmstrip alike, to the more complex Internet-surfing computers, these tools are central to the educational technology equation. These devices share a rich history; their development and evolution into the 21st century are punctuated with applications to traditional and nontraditional learning endeavors.
Although this early history emphasizes hard technologies, these tools would be an unsuccessful means for learning without the content they deliver. As we review selective moments in history, note the shift from interest in the technology to a focus on the content the technology provides, suggesting that the media may not be the only message.
Although use of visual illustrations for learning can be identified long before the 20th century, the birth of technology-based learning coincides with audiovisual media being introduced into U.S. schools in the early 1900s (Reiser, 1987). In some cases, technology-based learning entered educational institutions through “school museums.” These forerunners to today’s school media center served as repositories for visual instruction. They distributed portable museum exhibits, stereographs, slides, films, study prints, charts, and other materials designed to enhance instruction (Saettler, 1968). References to “visual education” can be found as early as 1908, when the Keystone View Company’s publication Visual Education guided teachers’ use of lantern slides and stereographs (Saettler, 1968).
This history provides evidence that learning can result from the use of educational technologies. Early use of these “tools of learning” provided tangible results and prompted interest in the increasing potential for learning by technology.

The Process of Learning: A Learning Primer
Unbearable disturbance or saving radiance? Although E.B. White may have never imagined television entering our classrooms to educate, query educators about classroom use of technology and you will uncover evidence to support either of White’s assertions. Educators who hold the belief that technology supports learning use educational technologies. Those who lack such beliefs may consider it an unbearable disturbance.
Today’s movement to hold teachers accountable for student learning places considerable pressure on teachers to ensure increases in each student’s knowledge and abilities. Teachers need proof that multimedia experiences can support increases in knowledge—powerful increases if employed thoughtfully and with purpose.
Such proof begins with understanding how people learn and how this process of learning is a natural match to the content that educational technologies can present. Learning changes the brain anatomically; with each new stimulation, experience, and behavior, it can rewire itself. Because we are all raised in different environments with different experiences, each brain is unique.
Even identical twins do not have identical brains. It is also worth noting how this “making of associations” parallels the research literature that addresses motivation and design of effective technology-based instruction. Establishing relevance to the instructional content is the second component of John Keller’s (1998) ARCS model, a system for improving the motivational appeal of instructional materials. Malone and
Lepper (1987) created a heuristic for designing intrinsically motivating learning environments that identifies features needed to enhance individual and interpersonal motivations. To enhance individual motivation, the heuristic calls for developing appropriate levels of challenge and feedback in the design of the instruction.
In this section, we’ve made the point that learning is the process of making connections.
• The brain is constantly working to make associations between existing knowledge and new information it receives.
• Educational technology can employ diverse approaches to support this process of learning.
• Storytelling is an ancient and proven strategy used to scaffold information and knowledge, facilitating the transfer from one person to another.
• Presenting information in multiple modalities (audio, visual, textual) can increase the chance that learning will occur.
• People generally remember 10 percent of what they read, 20 percent of what they hear, 30 percent of what they see, and 50 percent of what they hear and see.
• Active viewing of media by children is not a simple response but is a complex, cognitive activity that develops and matures with the child’s development to promote learning.
The ability of media to engage the learner, activate emotional states, initiate interest in a topic, and allow for absorption and processing of information shares a direct relationship to the potential that learning will occur.

Research-Based Evidence: Learning with Educational Technology
Research evaluating technology and learning has a long history. The beginnings date back to the Payne Fund
studies of the 1930s, one of the first large-scale efforts to investigate media’s role in influencing people (Krendl, Ware, Reid, and Warren, 1996). Study findings supported the potential of the film as an informal learning instrument. These studies linked a film’s ability to educate with a combination of important qualities inherent in the medium: wide variation in content, gripping narrative techniques, and an appeal to basic human motives and wishes.
The expansion of television programming and viewing in the mid-20th century set the stage for investigating how television entertainment impacted children. Schramm, Lyle, and Parker conducted the first major exploration of this premise in 1961 (as cited in Krendl et al., 1996). The study emphasized how children learn from television viewing and developed the concept of “incidental learning.” Although the viewer’s intent is entertainment, he or she stores up certain information without seeking it and learning occurs in spite of the intention of the program or of the viewer.
In their summary chapter of the book “G” is for growing: Thirty years of research on children and Sesame Street, Fisch and Truglio (2001) point to “a consistent pattern of significant effects” (p. 233) in academic areas, emergent literacy, school readiness, and social behaviors. This was seen in the very first studies conducted in the early 1970s by Ball and Bogatz (1970; Bogatz and Ball, 1971) who demonstrated that the children who watched the most, learned the most.
This was true regardless of age, viewing, geographic location, socioeconomic status, or gender. Numerous subsequent studies have further demonstrated the positive impact of Sesame Street viewing on children’s learning and school readiness (see box on page 17). Today, Sesame Street remains as popular and as relevant as ever.
Consequences curriculum (the curriculum group), and 10 classrooms did not (the control group). A predesign and postdesign assessed students’ legal knowledge, empathy, perceptions of risk, and antisocial behavior.
The study documented the following results:
Choices and Consequences impacted students’ acquisition of legal terms and the American court system; participating students demonstrated understanding of an additional eight legal terms on average, compared with no change in the control group.
Although both groups demonstrated similar scores regarding “empathy toward other people” as measured by the pretest, students participating in the program scored appreciably higher on the posttest, while control group empathy scores remained essentially unchanged.
This section has presented diverse results of research proving that students can and do learn from educational technology. The following research results are among the significant findings that support this conclusion:
• Watching the television program Blue’s Clues has strong effects on developing preschool viewers’ flexible thinking, problem solving, and prosocial behaviors when they are compared with children who do not watch the program (Bryant et al., 1998).
• Court TV’s Choices and Consequences program reduced middle school students’ verbal aggression, including tendencies to tease, swear at, and argue with others (Wilson et al., 1999).
• Viewing Sesame Street was positively associated with subsequent performance in reading, mathematics, vocabulary, and school readiness (Wright, Huston, and Kotler, 2001).
• A “recontact” study with a sample of 15- to 20-year-olds found that those who had been frequent viewers of Sesame Street at age 5 had significantly better grades in English, scienceand mathematics; read more books for pleasure; and had higher motivation to achievement (Huston et al., 2001).
• Students show greater achievement on standardized tests after using computers for mathematics problem solving (Clouse, 1991–92; Phillips and Soule, 1992).
• Remedial reading students using computer reading games for reinforcement and remediation showed significant knowledge gains and improved attitudes toward reading (Arroyo, 1992; Nixon, 1992).
• Learning-disabled (LD) students using computer simulations score significantly higher than traditionally taught students (both LD and non-LD) on recall of basic information and problem-solving skills (Woodward, Carnine, and Gersten, 1988).
• Use of educational technologies accounts for at least 11 percent of the total variance in the basic skills achievement gain scores of fifth- grade students, as measured in a 10-year West Virginia statewide study (Mann et al., 1999

View from the Future: Emerging Technologies
The number of connections in schools is also increasing. Previously, a “connected” school may have had a single Internet access point, often in the school office.
Today, more than 82 percent of schools nationwide have Internet access in one or more classrooms. In fact, the amount of connectivity in these particular schools is even more encouraging: on average, 80 percent of the classrooms are connected to the Internet (Education Week, 2001).
In the future, classrooms and schools will continue to expand in the types and amounts of technologies available, and teachers will be challenged even more to appropriately integrate technologies into their curricula.
Increased broadband Internet access and enhanced computers in schools will increase the use of technologies that merge video and desktop computing, such as webcasts, videoconferencing, digital movie making, and digital TV. Handheld computing and wireless technologies have also made entry into the classroom. Already, a small number of schools and classrooms are beginning to tap into these newer technologies. Below, we briefly highlight and review some of these new technologies and envision their contribution to learning.
This section has briefly explored the potential of new and emerging technologies and imagined the contributions they may bring to educational pursuits. These new technologies will increase our access to information and to other people, prompting new ways of learning and new understanding. Teachers will need to ensure that students not only learn but also learn how to learn. This ability will be their competitive advantage in the information era.

Conclusion
This paper has offered conclusive evidence that educational technologies impact learning. From early 20th-century classroom examples, training films, and mainframe computers to Sesame Street, Court TV’s Choices and Consequences, and the Apple Classrooms of Tomorrow, it has been proven that when technology is employed purposefully for defined outcomes, it can support and facilitate learning.
At the same time, learning is not a guaranteed outcome. Lack of purpose in the design of instructional content and the strategies employed to present that content in a technology-based environment can cause programs to fail. And once in the classroom, even a well-designed program can fail. With everincreasing choices for both technology (i.e., films, video, multimedia, or Internet) and content, the need is unprecedented for thoughtful, purposeful use, carefully aligned with complementary classroom instruction and desired learning outcomes.
Knowing that educational technology does result in learning, perhaps the question we should now ponder is how we can optimize learning with technology—before the content reaches the classroom and once it is in the hands of students and teachers. The recipe for success goes beyond technology and content to the learner, the teacher, and the environment in which technology is employed.
As technology continues to advance, we have ever-increasing opportunities to present content and to create rich, technology-based environments and experiences where learning can occur. Technology can take us to new places; technology can support new connections with others around the world, which means new perspectives and experiences. Such opportunities will certainly result in many types of learning for children. The need to design new research methods and techniques that support further understanding of how people learn from technology and how educators can use technology to support learning endeavors will continue to challenge. Thoughtful attention to the content that is developed and the availability of that content to students via technology will enable educators to ensure that such opportunities benefit the learning of children in their charge.

Posted on 12.52 by Unknown

1 comment

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan keaktifan dan prestasi belajar siswa pada Mata Pelajaran Membaca Gambar Sketsa melalui penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif di kelas X.TPM-A Jurusan Teknik Pemesinan SMK Negeri 2 Klaten.

Jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah Penelitian Tindakan Kelas. Penelitian ini dilaksanakan dengan kolaborasi antara peneliti, rekan observer, guru kelas dan melibatkan partisipasi siswa. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X.TPM-A Jurusan Teknik Pemesinan SMK Negeri 2 Klaten tahun pelajaran 2012/2013, yang berjumlah 32 siswa. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan berupa: (a) observasi; (b) tes; dan (c) angket. Prosedur penelitian tindakan meliputi tahap: (a) perencanaan tindakan, (b) pelaksanaan tindakan, (c) observasi terhadap tindakan, dan (d) refleksi terhadap tindakan.

Hasil observasi pada proses pembelajaran siklus I dan siklus II menunjukkan bahwa keaktifan ranah afektif siswa mengalami peningkatan pada rerata persentase skor siswa, yaitu dari 72,63% di akhir siklus I menjadi 78,31% di akhir siklus II. Rerata persentase pada hasil observasi keaktifan ranah psikomotorik siswa juga meningkat, yaitu dari 75,81% di akhir siklus I menjadi 79,63% di akhir siklus II. Sementara itu, pada hasil tes prestasi belajar kognitif yang dilakukan di kegiatan pra siklus, siklus I dan siklus II, terjadi peningkatan nilai rata-rata kelas dan jumlah siswa yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Nilai rata-rata kelas pada pra siklus sebesar 7,1, kemudian meningkat menjadi 7,8 pada siklus I dan meningkat lagi menjadi 8,2 pada siklus II. Jumlah siswa yang telah mencapai KKM pada pra siklus sebanyak 11 orang (34,38%), meningkat menjadi 20 orang (62,50%) pada siklus I dan meningkat kembali menjadi 28 orang (87,50%) pada siklus II.

Kata Kunci: Metode Pembelajaran
Kolaboratif, Prestasi Belajar Siswa,
Membaca Gambar Sketsa.

A. Latar Belakang

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan pendidikan formal pada tingkat menengah yang membekali peserta didiknya dengan keahlian dan ketrampilan di bidang tertentu dalam menghadapi dunia kerja. SMK mempunyai peran strategis dalam mendukung secara langsung pembangunan nasional, khususnya untuk mempersiapkan tenaga kerja yang terampil dan terdidik yang dibutuhkan oleh dunia industri. Sejalan dengan tujuan tersebut, maka siswa SMK dibekali pengetahuan dan ketrampilan sesuai jurusan masing-masing. Salah satu pengetahuan dan ketrampilan yang diberikan di kelas X Jurusan Teknik Pemesinan SMK Negeri 2 Klaten adalah pengetahuan gambar teknik yang terangkum dalam mata pelajaran Membaca Gambar Sketsa (MGS).

Tujuan diberikannya mata pelajaran Membaca Gambar Sketsa (MGS) adalah agar siswa dapat memperoleh bekal berupa ketrampilan membaca gambar teknik sebagai persiapan sebelum praktik di bengkel pemesinan maupun fabrikasi. Proses pembelajaran yang dilakukan pada mata pelajaran ini adalah belajar teori gambar teknik yang disampaikan dengan metode ceramah disertai tanya jawab dan praktik menggambar dengan secara manual yang didemonstrasikan langsung oleh guru.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana peningkatan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran pada Mata Pelajaran Membaca Gambar Sketsa melalui penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif?

2. Bagaimana peningkatan prestasi belajar siswa pada Mata Pelajaran Membaca Gambar Sketsa melalui penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif?

C. Tujuan

1. Mengetahui peningkatan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran pada Mata Pelajaran Membaca Gambar Sketsa melalui penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif.

2. Mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa pada Mata Pelajaran Membaca Gambar Sketsa melalui penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif.


LANDASAN TEORI

A. Metode Pembelajaran

Menurut Roestiyah N.K. (2001: 1), metode mengajar diartikan juga sebagai teknik guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas, agar pelajaran tersebut dapat ditangkap, dipahami, dan digunakan oleh siswa dengan baik. Menurut Made Wena (2011: 2), strategi atau metode pembelajaran berarti cara atau seni untuk menggunakan semua sumber belajar dalam upaya pembelajaran siswa. Hamdani (2011: 81), menyimpulkan bahwa proses belajar mengajar merupakan proses interaksi edukatif antara guru yang menciptakan suasana belajar dan siswa yang memberi respon terhadap usaha guru tersebut. Metode pembelajaran yang ditetapkan guru sebaiknya memungkinkan siswa banyak belajar melalui proses (learning by process), bukan hanya belajar produk (learning by product). Belajar produk hanya menekankan pada segi kognitif, sedangkan belajar proses dapat memungkinkan tercapainya tujuan belajar dari segi kognitif, afektif, maupun psikomotor. Oleh karena itu, pembelajaran harus diarahkan untuk mencapai sasaran tersebut, yaitu lebih banyak menekankan pembelajaran melalui proses karena yang penting dalam mengajar bukan upaya guru menyampaikan materi pembelajaran, melainkan bagaimana siswa dapat mempelajari materi pembelajaran sesuai dengan tujuan.

Penggunaan metode yang tepat akan turut menentukan efektifitas dan efisiensi pembelajaran. Pembelajaran perlu dilakukan dengan sedikit ceramah dan metode-metode yang berpusat pada guru, serta lebih menekankan pada interaksi


peserta didik. Penggunaan metode yang bervariasi akan sangat membantu peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran sehingga metode pembelajaran harus dipilih dan dikembangkan untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik (E. Mulyasa, 2005: 107).

Bedasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah cara yang digunakan guru untuk menyajikan materi dan menumbuhkan interaksi dalam proses pembelajaran dengan tujuan agar siswa termotivasi dalam belajar serta dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitasnya sehingga mencapai kompetensi yang diharapkan, baik dari segi kognitif, afektif, maupun psikomotor.

B. Pembelajaran Kolaboratif

Menurut Roberts (2004: 205), “Collaborative is an adjective that implies working in a group of two or more to achieve a common goal, while respecting each individual’s contribution to the whole”. Paz Dennen dalam Roberts (2004: 205), mengemukakan “Collaborative learning is a learning method that uses social interaction as a means of knowledge building”. Selanjutnya Bruffee dalam Roberts (2004: 205), menyatakan bahwa “educators must trust students to perform in ways that the teacher has not necessarily determined a head of time”, serta berpendapat bahwa “collaborative learning therefore implies that (educators) must rethink what they have to do to get ready to teach and what they are doing when they are actually teaching”.

Collaborative learning is an educational approach to teaching and learning that involves groups of learners working together to solve a problem, complete a task, or create a product. Collaborative learning is based on the idea that learning is a naturally social act in which the participants talk among themselves. It is through the talk that learning occurs (Hari Srinivas, 2012: 1).

C. Prestasi Belajar

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, Prestasi berarti hasil yang telah dicapai dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya (Meity Taqdir Qodratillah dkk., 2008: 1213). Definisi lain dari prestasi menurut Hamdani (2011: 137), yaitu hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok. Prestasi tidak akan pernah dihasilkan selama seseorang tidak melakukan kegiatan. Menurut Hamdani (2011: 138-139), prestasi pada dasarnya adalah hasil yang diperoleh dari suatu aktivitas. Adapun belajar pada dasarnya adalah suatu proses yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu, yaitu perubahan tingkah laku. Jadi, prestasi belajar merupakan tingkat kemanusiaan yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak, dan menilai informasi yang diperoleh dalam proses belajar mengajar.

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini tidak bertujuan untuk menguji hipotesis secara kuantitatif, namun lebih bersifat mendeskripsikan data, fakta dan keadaan yang ada di lapangan. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri dari 4 tahap yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Tahap tindakan pada siklus kedua merupakan perbaikan dan pengembangan dari siklus pertama, sehingga dalam penyusunannya harus memperhatikan hasil refleksi pada siklus yang pertama.

B. Lokasi, Waktu dan Subyek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan oleh peneliti di SMK Negeri 2 Klaten yang beralamat di Ds. Senden, Kec. Ngawen, Kab. Klaten pada bulan Maret-April. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas X.TPM-A Jurusan Teknik Pemesinan tahun ajaran 2012/2013. Kelas X.TPM-A berjumlah 32 siswa yang terdiri dari 29 siswa laki-laki dan 3 siswa perempuan.

C. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini diantaranya: (1) observasi, untuk mengukur keaktifan siswa dalam pembelajaran;

(2) tes, untuk mengukur prestasi belajar kognitif siswa; (3) angket, untuk mengetahui pendapat siswa tentang proses pembelajaran Membaca Gambar Sketsa menggunakan Metode Pembelajaran Kolaboratif.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Rangkuman Proses Pelaksanaan Penelitian

Proses pemberian tindakan pada penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus, yaitu siklus I dan siklus II. Masing-masing siklus terdiri dari 4 tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Namun, pada perencanaan untuk siklus II disusun dengan memperhatikan hasil refleksi pada siklus I, sehingga ada suatu perbaikan tindakan dari siklus I.

B. Peningkatan Keaktifan Siswa

Hasil observasi berikut menunjukkan bahwa penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif berdampak positif dalam meningkatkan keaktifan siswa, baik dari ranah afektif maupun psikomotoriknya. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan skor siswa dalam observasi yang dilakukan pada proses pembelajaran di siklus I dan siklus II.

C. Peningkatan Prestasi Belajar Siswa

Hasil tes berikut menunjukkan bahwa penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan penguasaan materi oleh siswa yang ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah siswa yang memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM) mulai dari kegiatan pra siklus, siklus I, dan siklus II.

Hasil tes yang dilakukan setelah kegiatan tindakan siklus II juga menunjukkan adanya peningkatan dari siklus sebelumnya. Nilai rata-rata kelas di siklus II sebesar 8,2, atau meningkat sebanyak 0,4 dibanding siklus I dengan nilai rata-rata kelas sebesar 7,8. Jumlah siswa yang tuntas juga menunjukkan peningkatan, yaitu dari 20 orang (62,50%) di siklus I menjadi 28 orang (87,50%) di siklus II. Meningkatnya jumlah siswa yang tuntas membuat jumlah siswa yang belum tuntas menurun, yaitu dari 12 orang (37,50%) di siklus I menjadi 4 orang (12,50%) di siklus II.


SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

Penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif dalam proses pembelajaran Membaca Gambar Sketsa terbukti dapat meningkatkan keaktifan siswa, baik dari ranah afektif maupun psikomotoriknya. Berdasarkan hasil observasi pada proses pembelajaran siklus I dan siklus II, keaktifan ranah afektif siswa mengalami peningkatan pada rerata persentase skor siswa, yaitu dari 72,63% di akhir siklus I menjadi 78,31% di akhir siklus II. Rerata persentase skor siswa pada hasil observasi keaktifan ranah psikomotorik juga meningkat, yaitu dari 75,81% di akhir siklus I menjadi 79,63% di akhir siklus II.

2. Penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif dalam proses pembelajaran Membaca Gambar Sketsa juga terbukti dapat meningkatkan prestasi belajar kognitif siswa. Berdasarkan hasil tes prestasi belajar kognitif yang dilakukan pada kegiatan pra siklus, siklus I dan siklus II, terjadi peningkatan nilai rata-rata kelas dan jumlah siswa yang memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Nilai rata-rata kelas pada pra siklus sebesar 7,1, kemudian meningkat menjadi 7,8 pada siklus I dan meningkat lagi menjadi 8,2 pada siklus II. Jumlah siswa yang telah mencapai KKM pada pra siklus sebanyak 11 orang (34,38%), meningkat menjadi 20 orang (62,50%) pada siklus I dan meningkat kembali menjadi 28 orang (87,50%) pada siklus II.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan, maka dapat diusulkan saran sebagai berikut:

1. Proses observasi pada penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif sebaiknya dilakukan minimal oleh 2 orang observer yang khusus mengobservasi proses kegiatan dalam diskusi agar hasil observasi lebih akurat lagi.

2. Pemberian post-test pada tiap akhir siklus sebaiknya dilakukan dalam jarak waktu yang tidak terlalu jauh (± 1 minggu) dari kegiatan tindakan, karena tidak tertutup kemungkinan dapat mempengaruhi hasil tes. Post-test yang dilakukan dalam penelitian ini berjarak ± 2 minggu dari kegiatan tindakan, disebabkan jadwal pelajaran berbenturan dengan Ujian Praktik Sekolah dan Ujian Akhir Nasional (UAN) 2012/2013.

Posted on 11.08 by Unknown

1 comment



MENGAJAR SEBAGAI PROSES KOMUNIKASI

Mengajar adalah tentang membangun hubungan komunikasi yang efektif dan afektif dengan siswa Anda. Guru yang efektif adalah komunikator yang efektif. Mereka adalah orang-orang yang memahami komunikasi dan belajar saling bergantung dan pengetahuan dan sikap siswa membawa mereka dari ruang kelas secara selektif diambil dari beragam kompleks pesan verbal dan nonverbal tentang subjek, guru, dan diri mereka sendiri. Mereka adalah orang-orang yang lebih peduli dengan apa yang siswa telah belajar daripada dengan apa yang telah mereka ajarkan, mengakui kedua hal tidak selalu identik. Mereka adalah orang-orang yang sadar dan strategis membuat keputusan tentang baik apa yang dikomunikasikan dan bagaimana hal itu dikomunikasikan.

Komunikasi instruksional didefinisikan sebagai proses guru membangun hubungan komunikasi yang efektif dan afektif dengan pelajar sehingga pelajar memiliki kesempatan untuk mencapai keberhasilan yang optimal dalam lingkungan pembelajaran. Mengajar adalah tentang hubungan dengan siswa dan tentang prestasi siswa.
Proses Instruksional Komunikasi

Komunikasi instruksional adalah proses di mana guru memilih dan mengatur apa siswa belajar ( konten ), memutuskan bagaimana cara terbaik untuk membantu mereka belajar ( strategi pembelajaran ), dan menentukan bagaimana keberhasilan dalam belajar akan ditentukan dan bagaimana siswa kemajuan akan dikomunikasikan oleh dan kepada mereka ( evaluasi / umpan balik ).

Guru

Guru mengarahkan proses komunikasi instruksional. Dia atau orientasi afektif ke arah isi, strategi pembelajaran, siswa, dan hanya menjadi guru memberikan pengaruh terhadap efektivitas proses - dan efektivitas proses, pada gilirannya, mempengaruhi orientasi afektif guru. Guru mungkin tidak akan efektif jika mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang bidang studi di mana mereka mengajar atau metode yang tepat untuk mengajar mata pelajaran ; Namun, mereka juga perlu seperti apa yang mereka lakukan. Kemampuan mereka untuk berkomunikasi secara efektif berkontribusi terhadap frekuensi yang mereka melihat orang- lampu menyala di mata siswa, yang, pada gilirannya, memberikan kontribusi untuk kepuasan kerja. Guru - dan keputusan konten, strategi, dan evaluasi / umpan balik yang mereka buat - adalah pengaruh utama pada siswa berpengaruh terhadap subjek.

Kognitif Learning. Menurut Bloom et al. ( 1956), domain kognitif " termasuk tujuan-tujuan yang berhubungan dengan penarikan kembali atau pengakuan dari pengetahuan dan pengembangan kemampuan intelektual dan keterampilan " ( hal. 7 ). Para peneliti mencatat bahwa sebagian besar penelitian dalam psikologi pendidikan, pengembangan kurikulum, dan pelajaran di tempat kerja telah berpusat di sekitar domain ini pembelajaran. Untuk alasan ini, fokus dari buku yang pertama kali diterbitkan oleh tim peneliti Bloom difokuskan pada domain kognitif sepenuhnya. Bloom et al. percaya bahwa belajar kognitif bisa diatur ke dalam enam kategori utama yang ada pada melanjutkan dari tingkat terendah belajar ( pengetahuan ) ke level tertinggi belajar ( evaluasi )
Afektif Learning. Buku pegangan kedua memeriksa taksonomi tujuan pendidikan ditulis oleh Krathwohl, Bloom, dan Basia ( 1964) untuk menguji domain afektif pembelajaran. Krathwohl et al. mendefinisikan domain afektif pembelajaran sebagai salah satu di mana " tujuan yang menekankan nada perasaan, emosi, atau tingkat penerimaan atau penolakan. Tujuan Afektif bervariasi dari penerimaan sederhana untuk fenomena dipilih untuk kualitas inheren kompleks tetapi konsisten karakter dan hati nurani " ( hal. 7 ). Secara keseluruhan, pembelajaran afektif belajar tentang " minat, sikap, apresiasi, nilai-nilai, set emosional atau bias " ( hal. 7 ). Sama seperti pembelajaran kognitif, Krathwohl et al. menciptakan taksonomi tujuan pendidikan untuk domain afektif.
Psikomotor Learning. Domain akhir pembelajaran awalnya dibahas oleh Bloom et al. ( 1956) adalah psikomotor belajar, atau aspek manipulatif atau motor- keterampilan belajar. Krathwohl et al. (1964 ) mendefinisikan belajar psikomotor sebagai pembelajaran yang menekankan " beberapa otot atau motorik skill, beberapa manipulasi benda-benda material, atau tindakan yang memerlukan koordinasi neuromuscular " ( hal. 7 ). Secara khusus, psikomotor atau belajar perilaku berfokus pada kemampuan individu untuk memberlakukan bagian fisik perilaku tertentu. Sementara kedua Bloom et al. ( 1956) dan Krathwohl et al. ( 1964) pembelajaran daftar psikomotor sebagai domain pembelajaran, mereka tidak fokus banyak perhatian pada pembelajaran psikomotor karena sebagai Bloom et al. ( 1956) menjelaskan " kita menemukan begitu sedikit tentang hal itu di sekolah menengah atau perguruan tinggi, bahwa kita tidak percaya perkembangan klasifikasi tujuan ini akan sangat berguna " ( hal. 7-8 ).

BERKOMUNIKASI DENGAN
TUJUAN INSTRUKSIONAL

Perencanaan unit instruksional, kursus, atau kurikulum secara keseluruhan, dalam banyak hal, seperti merencanakan perjalanan. Ada banyak tempat yang berbeda untuk pergi, dan banyak cara yang berbeda untuk mendapatkan sebagian besar dari mereka, tapi sebelum Anda dapat mulai merencanakan bagaimana untuk mendapatkan di mana Anda ingin pergi Anda harus memutuskan di mana Anda ingin berakhir. Instruksional dan tujuan tujuan ( IGOS ) adalah suatu cara untuk menjelaskan keputusan itu.

Tyler ( 1949) mengemukakan ada empat pertanyaan mendasar yang harus dijawab dalam mengembangkan kurikulum atau rencana instruksi :

1. Hasil Apa yang harus sekolah ( kursus, unit ) berusaha untuk mencapai ?
2. Pengalaman apa yang dapat diberikan yang mungkin untuk mencapai hasil ini ?
3. Bagaimana pengalaman ini secara efektif terorganisir ?
4. Bagaimana kita bisa menentukan apakah hasil-hasil yang dicapai sedang ?
Nilai dari Tujuan

Tujuan memiliki nilai informatif dan komunikatif bagi guru, siswa, administrator, orang tua, dan masyarakat pada umumnya. Mereka memberikan jawaban atas pertanyaan " Mengapa saya ( atau Anda ) melakukan hal ini? " Mereka membantu siswa memahami arah unit atau program studi yang mengambil sehingga mereka dapat mengarahkan perhatian mereka ke konsep-konsep penting dan keterampilan bukannya mencoba menebak apa yang guru keinginan mereka. Mereka membantu siswa menilai bagaimana mereka lakukan di seluruh unit bukannya terkejut dengan nilai akhir mereka. Tujuan membantu guru untuk memilih konten, kegiatan, dan materi pengajaran dengan rasa koheren tujuan. Mereka membuat evaluasi lebih mudah, mengarahkan jenis pertanyaan yang harus di tes, kriteria yang esai atau tugas proyek harus dinilai, dan sebagainya.
Tujuan merupakan langkah penting untuk dapat berkomunikasi dengan jelas dan meyakinkan orang-orang di luar sekolah yang menuntut pertanggungjawaban atas apa yang terjadi di dalam dinding kelas. Tidak hanya mereka sarana berkomunikasi tujuan, mereka cenderung untuk meningkatkan pencapaian tujuan tersebut. Mereka dapat memberikan kerangka membantu untuk mengartikulasikan upaya berbagai guru yang mengajar mata pelajaran yang sama atau tingkat kelas, atau guru yang mengajar kursus berurutan dalam suatu subyek.
Tujuan instruksional dapat - dan harus - termasuk kognitif yang diinginkan, afektif, dan hasil belajar psikomotor. Tujuan pembelajaran kognitif psikomotorik dan tingkat yang lebih rendah ( yang memerlukan pengetahuan atau pemahaman ) biasanya yang paling mudah untuk menulis karena perilaku dan standar untuk evaluasi adalah yang paling mudah diterjemahkan ke jenis tugas, pertanyaan tes, dan demonstrasi keterampilan yang biasanya termasuk dalam Unit atau kursus untuk menentukan nilai siswa. Guru sering menggunakan kegiatan kelas untuk mendorong belajar tingkat yang lebih tinggi kognitif ( aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi ), tetapi mereka mungkin kurang terbiasa mendefinisikan cara mengevaluasi pencapaian tujuan tersebut. Tes dan tugas yang dapat dievaluasi persen dasar yang benar sering tidak cara yang paling tepat untuk menilai apakah tujuan ini telah dicapai dan, karena mereka tidak, guru menganggap bahwa memiliki tujuan-tujuan tersebut tidak sesuai dengan rekomendasi bahwa tujuan instruksional harus berkomunikasi kondisi dan standar evaluasi serta perilaku.

STRATEGI KOMUNIKASI INSTRUKSIONAL

Guru sebagai Pembicara

Ketika kita berpikir tentang mengajar sebagai metode pengajaran, kita sering berpikir pertama kelas kuliah kami di mana kita mungkin pernah mengalami kuliah sebagai " alat untuk mendapatkan catatan dari notebook dari profesor untuk notebook siswa tanpa melalui kepala baik " ( Walker dan Scott, 1962, p. 113 ). Guru-guru di tingkat menengah dan SD jarang menggunakan wacana diperpanjang sebagai eksklusif seperti yang dilakukan beberapa guru perguruan tinggi, tetapi setiap saat guru mengasumsikan peran informasi pemberi, berbicara dengan agenda terstruktur, ia menjadi dosen. Dalam situasi ini, pembicara memegang lantai. Itu adalah dirinya atau tanggung jawabnya untuk juga menarik perhatian para pendengar.
Siswa belajar lebih baik jika mereka tahu apa yang mereka pelajari ; dengan demikian, dosen yang efektif akan memberikan penyelenggara muka seluruh presentasi untuk membantu siswa sepotong informasi menjadi unit-unit yang berarti. Collingwood dan Hughes melaporkan hasil percobaan yang menunjukkan bahwa siswa dilakukan lebih baik pada tes jika diberikan beberapa bentuk catatan untuk merujuk selama kuliah. Ketika guru memberikan satu set rinci catatan sehingga sedikit pencatatan diperlukan, atau memberikan garis besar poin-poin penting dengan diagram, tabel, dan tempat bagi siswa untuk merekam penjelasan selama kuliah, mahasiswa akan belajar lebih banyak daripada ketika mereka kiri ke perangkat mereka sendiri dalam mengambil catatan. Teknik ini juga memiliki hadiah afektif dalam hal itu memberikan siswa rasa tidak hanya di mana guru akan tetapi seberapa jauh dia harus pergi sebelum mencapai penutupan.
Strategi alternatif untuk membantu siswa mengatur catatan mereka telah didukung oleh Kelly dan Holmes ( 1979), dan lain-lain yang telah menerapkan " prosedur kuliah dipandu. " Siswa didorong untuk hanya mendengarkan dan menahan diri dari mengambil catatan selama kuliah guru, yang direncanakan sekitar paruh pertama periode. Mereka kemudian diminta untuk menuliskan apa yang mereka ingat dari kuliah. Instruktur membutuhkan waktu lima menit atau lebih untuk meninjau poin utama dan menjawab pertanyaan, setelah itu siswa pindah ke kelompok-kelompok kecil untuk bekerja sama menyiapkan set catatan yang dibagi di antara anggota kelompok. Prosedur ini memiliki manfaat siswa mendapatkan " gambaran besar " sebelum mencoba untuk memutuskan mana komponennya harus direkam untuk referensi di masa mendatang, dan itu adalah cara personalisasi suasana kelas dengan mendorong interaksi mendukung dalam kelompok-kelompok kecil. The downside adalah bahwa hanya setengah sebanyak bahan tersebut dapat dilindungi di kuliah.

Sebuah rekomendasi akhir mengenai peran guru sebagai keprihatinan moderator menunggu waktu. Hal ini sangat umum untuk mengamati guru menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka sendiri, biasanya karena respon mahasiswa tidak segera datang. Siswa dengan cepat belajar pola ini dan membebaskan diri dari tanggung jawab untuk partisipasi. Pertanyaan tidak dianggap sebagai " pertanyaan yang nyata. "
Guru sebagai Trainer

Mengajarkan keterampilan psikomotor mengharuskan siswa memiliki kesempatan untuk berlatih keterampilan sampai mereka menguasai mereka. Kadang-kadang, seperti dalam belajar mengemudi mobil, siswa sangat termotivasi untuk mengulangi tugas yang sama berulang-ulang sampai mereka belajar bagaimana melakukannya.
Bagi para guru untuk secara efektif melatih siswa melalui penguasaan keterampilan, adalah penting bahwa mereka dapat mematahkan kinerja keterampilan menjadi komponen-komponen terpisah sehingga mereka dapat menawarkan instruksi korektif.
Guru sebagai Manajer

Proyek kelompok kecil biasanya melibatkan 2-6 siswa bekerja sama dalam tugas bersama. Mereka memberikan kesempatan untuk memaksimalkan keterlibatan aktif siswa dalam kelas, untuk mengembangkan komunikasi dan kerjasama keterampilan interpersonal mereka, dan untuk memperkuat pengetahuan mereka melalui peer teaching. Penelitian memberikan bukti bahwa siswa menyimpan informasi lebih lama ketika mereka memiliki kesempatan untuk mengucapkannya, terutama rekan-rekan mereka.
Guru sebagai Koordinator dan Inovator

Penggunaan sumber daya untuk melengkapi instruksi dapat melayani berbagai tujuan. Computer-aided instruksi dan paket instruksi lainnya diprogram dapat dibuat atau dibeli untuk digunakan sebagai salah satu strategi pembelajaran primer atau alat tambahan. Film, kaset video, kaset audio, televisi instruksional, buku, majalah, surat kabar, demonstrasi, pembicara tamu, simulasi dan sebagainya dapat digunakan untuk melengkapi strategi instruksional lain atau sebagai landasan instruksi.

KEBUTUHAN KOMUNIKASI, MEMPENGARUHI, DAN SISWA

Kebutuhan Akademik Dasar Mahasiswa

Jika kita mengambil sebuah jajak pendapat dari kebutuhan akademik dasar siswa di kelas yang khas di setiap sekolah di negeri ini, banyak kebutuhan yang tercantum masih akan memiliki keunggulan antarpribadi atau pribadi untuk mereka. Hal ini penting dalam bahwa siswa akan selalu bercampur kebutuhan interpersonal mereka sendiri dengan kebutuhan akademik. Pada bagian ini, kita akan meninjau enam kebutuhan akademik dasar siswa.
Kebutuhan yang bersifat internal atau eksternal. Kebutuhan yang memiliki sifat internal yang sering dipenuhi oleh individu, bagaimanapun, kebutuhan yang memiliki sifat eksternal sering tergantung pada individu lain membantu dalam pemenuhan kebutuhan. Misalnya, banyak siswa kami belum mendapatkan metode yang sangat canggih memberi diri ganjaran internal, maka, mereka mengharapkan kita untuk memenuhi kebutuhan eksternal mereka agar mereka merasa baik tentang diri mereka sendiri secara internal. Ini menempatkan kita dalam situasi yang sangat genting dan berisiko. Kami ingin siswa kami dapat menghargai diri mereka sendiri secara internal, bagaimanapun, banyak tampaknya tidak dapat melakukan ini tanpa terlebih dahulu memiliki kita menghargai mereka eksternal. Sebagian besar dari kita telah belajar bahwa untuk merangsang sistem penghargaan internal siswa, sering kita harus terlebih dahulu menghargai sistem penghargaan eksternal mereka melalui komunikasi dan mempengaruhi. Pemenuhan kebutuhan siswa terkait dengan seberapa sukses guru mampu memenuhi kebutuhan tersebut melalui komunikasi dan mempengaruhi strategi pembangunan.
Kebutuhan dapat mengubah atau bervariasi situasi, tuntutan, dan variabel berubah. Sebagai contoh, sering ketika kita mendapatkan satu kebutuhan puas, maka kita memiliki lain perlu timbul yang membutuhkan perhatian. Atau, beberapa kebutuhan tingkat rendah puas, maka kita mulai berfokus pada kebutuhan tingkat yang lebih tinggi yang memerlukan perhatian. Atau, kadang-kadang kita harus memprioritaskan kebutuhan kita.
Fundamental Hubungan Interpersonal Orientasi
Kebutuhan antarpribadi untuk kontrol dikaitkan dengan kebutuhan untuk menunjukkan pengaruh, dominasi, kekuasaan, kepatuhan, tanggung jawab, dan bimbingan. Hal ini sering dipandang sebagai kebutuhan untuk berkomunikasi kontrol perilaku. Ada dua dimensi kebutuhan untuk kontrol. Dimensi pertama berkaitan dengan kebutuhan pribadi untuk mengungkapkan beberapa kontrol atas lingkungan sendiri dan keadaan lingkungan. Mahasiswa, dari segala usia, perlu merasa bahwa mereka dapat menggunakan sebagian kendali atas aspek tertentu dari lingkungan sekolah mereka. Mereka perlu merasa bahwa mereka kadang-kadang " memegang kendali. " Kami akan menghadapi perilaku ini cukup sering, bahkan pada anak-anak kecil. Seringkali siswa kami ingin melakukan kontrol, bertanggung jawab, dalam perintah, mempengaruhi orang lain, orang lain langsung, dan sebagainya.
Kebutuhan antarpribadi untuk inklusi dikaitkan dengan kebutuhan untuk diikutsertakan, menjadi bagian dari kelompok, mampu menyesuaikan diri, atau menjadi anggota kelompok. Hal ini sering dipandang sebagai kebutuhan untuk inklusi sosial. Inklusi sosial sering dianggap sebagai kebutuhan untuk berkomunikasi, asosiasi, dan berinteraksi dengan orang lain. Ada dua dimensi kebutuhan untuk dimasukkan. Dimensi pertama adalah berkaitan dengan kebutuhan pribadi untuk mengekspresikan inklusi kepada orang lain.
Kebutuhan fisiologis yang " paling yang melebihi semua kebutuhan " ( Maslow, 1970, hal. 36 ). Kebutuhan ini harus dipenuhi jika tubuh adalah untuk terus berfungsi. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan seperti makanan, air, udara, tidur, istirahat, dan kebutuhan untuk aktivitas atau stimulasi. Kebutuhan ini harus dipenuhi sehingga masyarakat dapat berfungsi dengan baik. Jika kebutuhan ini tidak puas, seseorang tidak berfungsi dengan baik dan mereka tidak bisa bergerak ke kebutuhan yang lebih tinggi tanpa memenuhi kebutuhan ini. Misalnya, banyak siswa kami yang lelah atau perlu istirahat. Sampai mereka mendapatkan jumlah yang tepat dari istirahat, mereka berpikir sedikit lain.

INSTRUKSIONAL PENILAIAN:
KRITIK, PENILAIAN, DAN MEMPENGARUHI

Belajar Orientasi dan Orientasi Kelas

Guru harus diingat bahwa siswa berbeda dalam hal belajar dan kelas individual orientasi mereka, dan dengan demikian mereka akan merespon secara berbeda terhadap kedua evaluatif dan umpan balik deskriptif. Seorang individu siswa mungkin tinggi di kedua kelas belajar dan orientasi, rendah pada kedua, atau tinggi dalam satu dan bukan yang lain. Pengalaman mengecewakan dengan jenis tertentu, atau tipe, siswa kadang-kadang dapat menyebabkan guru untuk membuat keputusan evaluasi yang menyimpang dari penilaian berbasis obyektif.

Pembelajaran berorientasi (LO) siswa adalah mereka yang melihat sekolah sebagai tempat untuk menemukan informasi baru, untuk menguji ide-ide, dan belajar hal-hal pribadi yang relevan.

Siswa yang tinggi di kedua orientasi pembelajaran dan orientasi kelas tampaknya akan menjadi ideal guru, ingin membuat belajar pribadi yang relevan, tetapi juga untuk melakukan dengan baik. Mereka adalah, pada kenyataannya, seringkali para siswa dengan tes kecemasan tertinggi dan kebutuhan yang kuat untuk memvalidasi kepentingan intrinsik mereka untuk belajar dengan indikator ekstrinsik yang memberitahu mereka mereka lakukan OK. Tinggi siswa LO / Tinggi GO cenderung sangat responsif terhadap semua umpan balik.

Siswa yang rendah pada kedua belajar orientasi dan kelas orientasi sering frustrasi guru, yang jarang Rendah LO / Rendah GO sendiri. Baik nilai maupun belajar tampaknya memotivasi para siswa dan mereka tidak muncul untuk menjadi responsif terhadap setiap jenis umpan balik. Mereka adalah siswa untuk siapa ujung bawah skala penilaian normatif tampaknya telah diciptakan. Kami tidak memiliki banyak kesulitan dengan tugas memihak nilai rendah ke grup ini.

Kohn (1986a) mencatat bahwa cara paling sederhana untuk memahami mengapa persaingan tidak mempromosikan keunggulan karena mencoba untuk melakukannya dengan baik dan berusaha untuk mengalahkan orang lain adalah dua hal yang berbeda. Dia menawarkan contoh anak yang duduk di kelas, melambaikan lengannya liar untuk menarik perhatian guru, menangis "Ooooh! Ooooh! Pilih saya! Pilih saya!" Ketika dipanggil ia tampak bingung dan bertanya "Apa pertanyaannya lagi?" Perhatiannya adalah pada yang diakui selama teman-temannya, tidak pada subyek. Selain menyesatkan upaya dari penguasaan tugas-berorientasi pada penguasaan komparatif, persaingan tergantung pada motivator ekstrinsik. Ketika penghargaan ekstrinsik menang tidak hadir, akan dihapus.

Untuk memastikan tidak ada dalam kelompok duduk kembali dan memungkinkan orang lain melakukan pekerjaan, yang Johnsons menyarankan memperkuat "pertanggungjawaban individual" dengan memilih secara berkala satu siswa secara acak pada setiap kelompok untuk menjelaskan jawaban atau mengambil tes untuk grup. Ini, tentu saja, adalah strategi yang berpotensi sangat merusak, yang dapat menyebabkan teror di jantung dari setiap komunikasi sangat memprihatinkan atau menguji siswa cemas. Jadi, jika "pertanggungjawaban individual" adalah penting, beberapa cara lain untuk mencapai tujuan yang diperlukan, seperti evaluasi rekan.

GURU DI KELAS ATAS TEMPERAMEN

Pernahkah Anda memperhatikan bahwa ada orang-orang yang tidak seperti Anda di dunia? Mungkin Anda bekerja dengan salah satu " aneh " orang ? Mungkin Anda tinggal dengan salah satu " aneh " orang ? Dan sangat mungkin, Anda mungkin bahkan mengajarkan salah satu " aneh " orang. Anda tahu fakta bahwa jika orang-orang ini hanya akan melakukan apa yang Anda katakan dan menjadi lebih seperti Anda, mereka akan hidup lebih baik dan hidup lebih bahagia. Kita semua memiliki kecenderungan untuk melihat orang-orang di sekitar kita dan menemukan kesalahan. Sulit untuk menyadari bahwa mungkin, mungkin saja, itu kita dan bukan mereka yang perlu diubah. Kami menghabiskan begitu banyak waktu untuk berfokus pada apa yang kita anggap sebagai kesalahan pada orang lain, dan sangat sedikit waktu mencoba untuk memahami diri kita sendiri. Salah satu cara untuk menjadi seorang guru afektif di dalam kelas adalah untuk belajar memahami diri sendiri dan orang di sekitar Anda.

Empat Jenis Kepribadian

Mari kita memeriksa empat tipe kepribadian individual, sehingga kita bisa mulai melihat aspek positif dan negatif dari semua empat jenis. Satu hal yang sangat penting yang perlu dilakukan adalah bahwa semua empat jenis memiliki kekuatan dan kelemahan tertentu, dan setiap kekuatan ketika dibawa ke ekstrem dapat menjadi kelemahan !

Popular Sanguine

The Popular Sanguine selalu kehidupan partai. Orang ini umumnya memiliki sekelompok orang di sekitar mereka setiap saat. Sanguines selalu mencari penonton mereka berikutnya. Salah satu yang pertama tanda-tanda kirim-kisah bahwa Anda baik Sanguine sendiri atau berinteraksi dengan Sanguine adalah sifat keras bahwa Sanguines umumnya memiliki. Sanguines tidak hanya keras di suara mereka; mereka juga keras dalam hidup. Sanguines juga memiliki kecenderungan untuk mencari satu sama lain dalam situasi sosial.

Dimana Sanguine adalah keras, Melancholy tenang. Orang-orang ini ingin memiliki ketenangan lingkungan mereka karena membantu mereka untuk berpikir dan merenungkan. Sanguines membutuhkan orang untuk berdiskusi dengan dan menentukan tindakan yang terbaik ketika masalah muncul, Melancholies lebih memilih untuk memikirkan masalah dan kemudian menentukan tindakan yang tepat dari waktu ke waktu. Bahkan, Sanguines keras dan menjengkelkan adalah salah satu keluhan utama yang Melancholies miliki dengan dunia. Melancholies sering hanya tidak mengerti mengapa ini " lain " orang merasa perlu untuk berbicara sepanjang waktu.
Melancholies sangat jadwal berorientasi individu. Hal ini dapat menjadi besar karena membantu organisasi untuk terus berjuang ke depan. Pada saat yang sama, Anda bisa menjadi begitu terlalu dijadwalkan dalam hidup yang tidak akan dicapai.

Dasar keinginan itu Phlegmatics miliki adalah untuk memiliki damai. Ketika kehidupan Phlegmatic adalah dalam kekacauan, perlu untuk menghadapi sesuatu, atau memiliki tekanan untuk menghasilkan, itu dapat menyebabkan apatis menjadi tertekan. Teman saya Janet diminta untuk memecat salah satu karyawannya. Dia menjadi depresi berat karena dia tahu bahwa dia akan harus menghadapi salah satu karyawan nya dan biarkan ia pergi.
Ketika dihadapkan dengan stres dan depresi, Phlegmatics memiliki kecenderungan untuk menemukan melarikan diri dalam buku-buku atau televisi. Untuk sebuah Phlegmatic, menemukan lolos dalam buku-buku dan acara televisi memungkinkan mereka untuk memisahkan diri dengan masalah yang mengganggu mereka, dan memungkinkan mereka untuk menemukan kedamaian dan relaksasi sesaat.

Ketika orang memutuskan untuk mengajar, pola temperamental dan kepribadian mereka tidak dipisahkan dari kelas mereka. Temperamen biologis Anda tidak mempengaruhi kelas Anda. Seringkali guru mengajar dari pola temperamental mereka sendiri. Bahkan cara kita mengontrol siswa kami dilakukan melalui tempramen kita. Sanguines kontrol dengan pesona dan kecerdasan - "Anda hanya akan menyukai ide baru ini yang aku punya. "Melancholies kontrol melalui ancaman suasana hati- "Jika Anda melakukan itu aku mungkin akan mengalami depresi." Control Cholerics lain melalui ancaman kemarahan"! kau tahu apa yang terjadi terakhir kali Anda melakukan itu "Dan Phlegmatics mengontrol melalui penundaan. " Jika saya menunggu cukup lama, orang lain akan melakukannya dan menyelesaikannya." Temperamen kami adalah bagian penting dari siapa kita dan bagaimana kita berperilaku.

Posted on 11.04 by Unknown

No comments

Pendidikan adalah sesuatu yang hak bagi setiap manusia. Tidak terkecuali pendidikan kejuruan yang merupakan salah satu bentuk pendidikan dalam arti pendidkan formal. Pendidikan kejuruan yang sejarahnya sangat panjang berawal dari pemikiran Ratu Belanda yaitu Politik Etika (Etische Politiek) merupakan bentuk pertanggungjawaban politik Pemerintah Belanda terhadap Hindia Belanda. Sebuah tulisan oleh Mr. C. Th. Van Deventer, mengungkapkan bahwa kerisauan kalangan intelektual Belanda terhadap pertumbuhan kapitalisme yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, khususnya di Hindia Belanda, sementara Belanda menyatakan dirinya sebagai bangsa dengan peradaban yang tinggi.

Dalam tulisannya, ia mengemukakan bahwa Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) tahun 1830 dan Sistem Liberal tahun 1870 yang dilaksanakan Pemerintah Belanda di tanah jajahannya, Hindia Belanda, merupakan politik pengerukan keuntungan yang luar biasa. Dan dari sinilah muncul Politik Etika yang dicanangkan Ratu Belanda dalam sidang parlemen Belanda tahun 1901.
Sejak pencangan Politik Etika inilah, pemerintah Balanda berusaha mengembangkan ekonomi agar memiliki anggaran sendiri dan akhirnya dari pendidikanlah unsur yang perlu dibenahi dan dibangun. Pendidkan kejuruan adalah salah satu di dalamnya, dimana dari sekolah kejuruan akan diperoleh lulusan dengan keahlian teknik. Pada permulaannya, pendidikan kejuruan yang pertama kali adalah Sekolah Pertukangan, sekolah yang merupakan sarana yang digunakan untuk memajukan pertukangan di Indonesia, lalu pertanyaannya, kenapa di Indonesia? Ya, karena pada saat itu Belanda sedang dalam masa penjajahan ke tanah Indonesia, sedang pada saat itu jika hanya dengan mengandalkan potensi yang ada maka tidak akan berkembang. Lalu dengan mengembangkan pendidikan Sekolah Pertukangan tidak hanya berusaha meningkatkan pendidikan warga negara Belanda kepentingan mereka, tetapi ikut bertanggungjawab kepada Indonesia sebagai tanah jajahannya walaupun memang hanya khusus kaum bangsawan pada saat itu.

Dari Sekolah Pertukangan, sekolah yang pertama kali dibangun di tiga kota besar di Indonesia, yaitu Surabaya, Betawi dan Semarang, kemudian berkembang lagi Pendidikan Kejuruan Pertanian yaitu sekolah yang berkonsentrasi pada kursus untuk pendidikan pertanian praktis. Kemudian dibangun Pendidikan Kejuruan Teknik, dimana banyak sekali keahlian yang dikembangkan seperti keahlian bangunan, keahlian pertambangan, pendidikan masinis, dan lain-lain. Inilah sejarah singkat mengapa ada pendidkan kejuruan dan bagaimana prosesnya, walaupun bagaimana juga pendidikan yang awalnya oleh pemerintah Belanda hanya untuk kebangsaan Eropa dan China, tetapi akhirnya mereka mengembangkan untuk masyarakat Pribumi. Memang tidak secara singkat perkembangan yang terjadi sedemikian majunya, karena dalam masa penjajahan adalah masa sulit dan masa yang tidak menyenangkan bagi yang terjajah, sehingga sangat banyak hambatan dan rintangan yang membuat banyak instansi sekolah yang dipergunakan sebagai proses pendidikan ini menjadi kembang-kempis seiring perkembangan perekonomian saat itu.

Selayang pandang pendidikan di Indonesia
Sejarah pendidikan di Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam dua periode utama, yaitu pendidikan pada zaman sebelum kemerdekaan dan pendidikan pada zaman kemerdekaan. Dari periode-periode ini akan tersusun dari beberapa periode atau babak yang lebih membahas spesifikasi dari pendidikan di Indonesia. Di antara pendidikan pada zaman sebelum masa kemerdekaan yaitu; (1) pendidikan yang berbasis ajaran keagamaan, (2) pendidikan yang berbasis kepentingan penjajah, (3) pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan (Depdikbud, 1996). Lalu pendidikan pada zaman kemerdekaan dibagi menjadi tiga babak yaitu; (1) tahun 1945-1968 yaitu sejak diproklamasikan kemerdekaan Indonesia sampai sebelum pelaksanaan Pelita I; (2) sejak pelaksanaan Pelita tahun 1969/1970 hingga akhir Pelita VI tahun 1997/1998 dan (3) periode reformasi tahun 1998 yang berlanjut dengan dilaksanakannya otonomi daerah sejak tahun 2001 hingga sekarang tatkala pendidikan mengalami desentralisasi yang radikal (Jalal & Supriyadi, 2001).
Satu setengah abad pendidikan kejuruan di indonesia

Pendidikan di zaman kuno sampai berakhirnya pendidikan zaman Hindia Belanda dapat dikatakan bahwa pendidikan kejuruan merupakan suatu perkembangan yang relatif baru. Sebelumnya, pada zaman Mesir kuno, pelajaran kejuruan berasal dari luar sistem pendidikan dan berada di bawah asuhan apa yang disebut sistem guilde (guild system). Orang-orang yang mempunyai keterampilan membentuk suatu organisasi, sistem ini bertujuan melindungi anggotanya seperti yang sekarang dilakukan oleh organisasi buruh (labour organization). Sampai Abad Pertengahan kejuruan dan keterampilan menjadi bagian dari pendidikan.

Perkembangan awal pendidikan kejuruan di Indonesia dimulai sekitar 10 abad sebelum datangnya Portugis dan Belanda, yaitu berupa pendidikan yang berbasis keagamaan yang diselenggarakan oleh pemuka Hindu, Budha dan Islam. Namun baru pada abad 16 sekolah pertama di Indonesia didirikan oleh penguasa Portugis di Maluku, Antonio Galvano, tepatnya tahun 1536. Kemudian disusul pendirian sekolah-sekolah lain di beberapa tempat di penjuru Indonesia.
Sejak datangnya bangsa Portugis hingga berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda, bangsa Indonesia berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban bangsa Barat.
Hal yang sangat menonjol pada kebudayaan Barat adalah intelektualismenya, yaitu penghargaan terhadap kecerdasan otak dan keterampilan kerja yang kemudian berkembang dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada dasawarsa 1960-an dan 1970-an, pendidikan di Indonesia sebenarnya agak lebih maju daripada Malaysia yang telah mendapat kemerdekaan dari Inggris. Waktu Indonesia mampu mengirimkan guru-guru ke Malaysia. Indonesia pun harus membangun sistem pendidikannya dari nol, walaupun elemen-elemennya dari sistem pendidikan Belanda, dan juga dari zaman Jepang, tetap menjadi landasannya.
Sampai pada tahun 1899 dalam majalah De Gids (No. 63) di negeri Belanda, isinya mengungkapkan kerisauan kalangan intelektual Belanda terhadap pertumbuhan kapitalisme yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Dari sinilah memicu lahirnya Politik Etika (Etische Politiek) yang dicanangkan oleh ratu Belanda, hingga menumbuhkan beberapa pemikiran dan menghasilkan kesepakatan untuk membuat beberapa sekolah atau lembaga pendidikan. sekolah pertam yang didirikan adalah tentang Pendidikan Kejuruan Pertanian (Surat Gubernur Jenderal kepada Menteri Jajahan, 6 juli 1900 nomor 1257/16), kemudian Pendidikan Kejuruan Teknik (Surat Gubernur Jenderal kepada Menteri Jajahan, 6 juli 1900 nomor 1258/17), Akses Penduduk Bumiputera terhadap Pendidikan Kejuruan (Surat Gubernur Jenderal kepada Menteri Jajahan, 12 September 1900 nomor 49/2280).
Pada zaman pendudukan Jepang tahun 1940-an yang waktu itu mengumbar cita-cita untuk menjadi saudara tua di seluruh Asia Timur, membangun tentara yang kuat. Setelah menduduki Indonesia tahun 1942, pertama yang Jepang lakukan adalah membenahi sistem pemerintahannya, dimana bahasa Indonesia dijadikan bahasa pergaulan (lingua franca) menjadikan rasa kebanggaan orang Indonesia waktu itu. Tetapi kehidupan rakyat Indonesia benar-benar sengsara, dimana beras dijatah, berjualan secara gelap. Pada pendidikan umumnya di masa pendudukan Jepang, banyak sekolah yang sempat ditutup karena situasi perang segera dibuka kembali. Berupa tiga pendidikan yaitu, dasar, menengah, dan tinggi. Pendidikan dasar berupa Sekolah Rakyat (lamanya 6 tahun), pendidikan menengah terdiri atas Sekolah Menengah Pertama (3 tahun) dan Sekolah Menengah Atas (3 tahun), pendidikan tinggi atau Perguruan tinggi hanya Sekolah Tinggi Kedokteran di Salemba, Jakarta dan Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.
Pada zaman jepang juga ada sekolah khusus seperti Sekolah Guru, Sekolah Pertanian dan Sekolah Tinggi Pamongpraja, lalu ada juga pembukaan kembali sekolah untuk Pendidikan Kejuruan Teknik, Sekolah Pertukangan di samping Sekolah Tingkat Menengah.
Dan akhirnya dari Zaman Kemerdekaan sampai pada Era Reformasi, dengan banyak sekali perubahan yang terjadi dalam perkembangan pendidikan khususnya dalam aspek kejuruan menjadikan potensi pendidikan kejuruan di Indonesia sangat besar untuk menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dimana pada tahun 1998, siswa SMK baik Negeri maupun Swasta mencapai 2 juta orang atau sekitar 37 % dari seluruh populasi SLTA di Indonesia.

Pendidikan Teknik dan Kejuruan dan Pertumbuhan Ekonomi pada PELITA I dan II
Pada Pelita I (1969/1970 s.d 1974/1975), Pemerintah Republik Indonesia menempatkan pembangunan pendidikan teknologi sebagai bagian integral REPELITA mengisi kebutuhan terhadap tenaga kerja teknik. Sebelum Pelita I dimulai, Direktur Pendidikan Teknologi, Kolonel Amir Gondokusuma, telah melakukan analisis kebutuhan, analisis jabatan, hingga analisis kemampuan, yang kemudian dijabarkan dalam bentuk Kurikulum STM Pembangunan.
Tahun pertama Pelita I dimulai dengan pembangunan delapan STM Pembangunan, dengan dukungan sumber daya yang dimiliki oleh Indonesia sendiri. Tahun kedua Pelita I (1970-1971), pembangunan pendidikan teknik ditingkatkan lagi dengan membangun lima Tehcnical Training Centre (Balai Latihan Pendidikan Teknik) dengan pinjaman dana dari World Bank, dan bantuan tenaga ahli dari UNESCO serta Pemerintah Inggris. Tahun keempat Pelita I (1972-1973), diadakan proyek Peningkatan Mutu Pengajaran Teknik (PMPT), dengan pusat penyelenggaraan di STM Instruktor (bekas SGPT) di Jalan Dr. Rum No. 9 Bandung, dengan sasaran utama mendukung peningkatan mutu guru teknik pada proyek-proyek STM Pembangunan dan BLPT.

Sejalan dengan perkembangan yang semakin intensif pembangunan pendidikan teknik, antara lain dengan penambahan BLPT menjadi sembilan atas bantuan World Bank dan rehabilitasi 27 STM atas bantuan pinjaman dari Pemerintah Belanda maka dirasakan perlunya pelembagaan proyek-proyek penataran guru teknik. Melalui bantuan tenaga ahli dari Australia Mr. Ian Scoot tahun 1972-1973, dan Mr. Ken Sharp tahun 1974-1975, dirumuskan suatu bentuk kelembagaan, yang waktu itu disebut TTUC (Tehnical Teacher Upgrading Centre).

Pendidikan Kuantitatif Pendidikan Kejuruan hingga PELITA IV
Dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi pendidikan nasional, yaitu terwujutnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua Warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah terutama dalam proses pendidikan.

Dalam PELITA I ditentukan suatu kebijakan digunakannya siaran radio dan televisi untuk pemerataan mutu pendidikan. PELITA I s/d III tidak menganut kebijakan karena dorongan perekayasaan (technology driven), melainkan dorongan pendidikan (education driven). Masyarakat dengan budaya yang maju menggunakan dan bahkan menghasilkan teknologi yang maju pula; sebaliknya masyarakat yang kurang maju menggunakan teknologi yang lebih sederhana. Pada masa itu, pemerintah telah berniat untuk menggunakan teknologi dalam bidang pendidikan.
Berdasarkan pengkajian Komisi PBB Untuk Pembangunan Pengetahuan dan Teknologi (United Nations Commission on Science and Technology for Development /UNCSTD) pada tahun 1998, integrasi antara teknologi informasi dan komunikasi secara positif mempengaruhi pembangunan di semua sektor. Oleh karena itu disarankan agar semua negara angota PBB memanfaatkan potensi TIK secara produktif, agar menuju tercapainya masyarakat berpengetahuan. Perubahan Paradigma Pendidikan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) telah mengukuhkan berbagai usaha pembaharuan dalam bidang pendidikan yang telah diperjuangkan mulai tahun 1976.
Program pembinaan dan pengembangan pendidikan menengah kejuruan mulai Pelita I sampai dengan Pelita IV pada dasarnya mencakup beberapa aspek seperti berikut:
• Secara kuantitatif dilakukan dengan memprogramkan peningkatan daya tampung siswa.
• Secara kuantitatif dilakukan dengan meningkatkan kualitas lulusan melalui peningkatan program pendidikan, peningkatan mutu tenaga pengajar dan peningkatan tenaga pengajar.
• Relevansi ditingkatkan dengan mengusahakan lebih terkaitnya kurikulum dengan kebutuhan industri/dunia kerja.
• Efektivitas dilakukan dengan mengembangkan program pendidikan untuk menghasilkan calon lulusan yang bermutu yang memenuhi persyaratan tenaga kerja atau persyaratan mandiri.
• Efektivitas dilakukan melalui perbaikan dan peningkatan pengelolaan pendidikan yang lebih terkoordinasi dan terpadu.
Perkembangan Kualitatif Pendidikan Kejuruan hingga Pelita IV

Perkembangan pendidikan kejuruan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif tidak terlepas dari pengaruh beberapa faktor penting penunjang pembangunan, faktor-faktor tersebut antara lain faktor Ekonomi, faktor Teknologi, faktor Sosial Budaya, faktor Sumber Kekayaan Alam dan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah pendidikan yang selanjutnya mempengaruhi pula proses pelaksanaan pendidikan kejuruan.

Pada kurikulum pendidikan kejuruanpun, pada dasarnya suatu lembaga pendidikan meliputi perumusan tujuan lembaga pendidikan, lama pendidikan, struktur program, garis-garis besar program pengajaran, metode pengajaran dan evaluasi hasil belajar. Beberapa kurikulum yang telah diterapkan dalam pendidikan kejuruan adalah Kurikulum 1964, Kurikulum 1976/1977, dan Kurikulum 1984.

Proses pengembangan pendidikan kejuruan akan terdapat semacam Pembaruan Pendidikan Kejuruan. Beberapa pembaruan yang pernah dilaksanakan antara lain; 1. Kurikulum dan Program Pendidikan, 2. Penyesuaian Masa Pendidikan, 3. Pembaruan melalui Kurikulum 1984, 4. Fasilitas Pendidikan, 5. Tenaga Kependidikan, 6. Manajemen dan Administrasi, 7. Kesiswaan, 8. Pendirian dan Pengembangan PPPG Teknologi dan Kejuruan, dan 9. Efisiensi Biaya Pendidikan.

Pada masa Pelita IV, pada tahap perkembangan Pendidikan Menengah Kejuruan menghadapi persoalan-persoalan pokok seperti; masalah relevansi dan mutu Program Pendidikan, masalah penyediaan Guru dan Tenaga Kependidikan, masalah Kondisi Fasilitas Pendidikan, masalah Perluasan Kesempatan Belajar, serta masalah pembinaan Program Pendidikan. Maka, akan dibutuhkan suatu strategi pecahan masalah dengan memperhatikan kebijaksanaan yang telah ditetapkan, dengan menyesuaikan program-program pendidikan menengah kejuruan dengan berbagai kesempatan kerja yang tersedia, lalu dengan memperluas kesempatan belajar bagi setiap warga negara Indonesia, kemudian menyediakan tenaga pengajar yang memenuhi syarat, lalu berusaha melengkapi fasilitas pendidikan, sedang dalam asapek penyelenggaraan pendidikan diperlukan peranan pendidikan dengan mengolah dan membina kegiatan pendidikan menengah kejuruan yang diharapkan terjadi aktivitas-aktivitas terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, jika diperlukan dilaksanakan studi banding ke luar negeri,

Perkembangan Pendidikan Menengah Kejuruan pada Pelita V
Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia, terdapat bermacam usaha dan program telah tersusun dalam agenda Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan yang akan diterapakan di berbagai bidang seperti perdagangan, sandang, pangan, pariwisata, perkantoran, teknik, kesenian dan lain-lain. Tetapi seiring berjalannya waktu, terdapat persoalan apakah kelangsungan hidup dapat dipertahankan dengan kekuatannya sendiri. Maka dalam masalah ini akan dapat didiskripsikan beberapa faktor yang mempengaruhi, seperti ; 1. Tradisi kehidupan masyarakat Indonesia dengan sejarah pertumbuhannya, 2. Peraturan perundang-undangan yang berlaku yang merupakan warisan dari zaman sebelum Perang Dunia II, dan 3. Peta geografi indonesia yang terdiri atas pulau-pulau yang banyak jumlahnya dengan ragam tingkat perkembangannya.
Indikator-indikator kuantitatif Pendidikan Kejuruan dapat disederhanakan menjadi beberapa faktor dan program-program yang telah dicannagkan oleh pemerintah antara lain seperti di bawah ini ;
1. Perkembangan Lembaga, Siswa dan Ketenagaan.
2. Pembiayaan.
3. Bantuan Hibah dan Pinjaman Luar Negeri.
4. Ikatan Kerjasama dengan Luar Negeri.
5. Kerjasama dengan Dunia Usaha/Industri Dalam Negeri.
6. Usulan proyek-proyek baru.
7. Hal-hal yang memerlukan perhatian.

Perkembangan Pendidikan Menengah Kejuruan pada Pelita VI

Dalam masa Pelita VI juga terdapat beberapa permasalahan dalam Pendidikan Kejuruan, walaupun memang telah banyak hasil positif dari pencapaian oleh Pembanguan Pendidikan Kejuruan tersebut. Tetapi dalam pencapaian tersebut belum mampu menjadi landasan yang kuat dalam menghadapi tantangan yang ada pada era globalisasi, era perdagangan bebas, dan era teknologi informasi. Maka harus diperlukan sistem pendidikan kejuruan untuk masa depan yang handal, luwes, adaptif dan antisipatif. Untuk menuju ke arah tersebut, pendidikan menengah kejuruan menghadapi berbagai permasalahan fundamental dan operasional, seperti; 1. Masalah Konsepsi, 2. Masalah Program, 3. Masalah Operasional 4. Perlunya Pembaruan.
Pada masa Kabinet Pembangunan VI, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro) memperkenalkan kebijakan baru untuk pembangunan pendidikan, yang disebut “Link and Match”. Kebijakan “Link and Match” mengimplikasikan wawasan sumber daya manusia, wawasan masa depan, wawasan mutu dan wawasan keunggulan, wawasan profesionalisme, wawasan nilai tambah dan wawasan ekonomi dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan kejuruan.

Perkembangan SMK Bidang Teknik/Teknologi.
Berdasarkan Kurikulum 1984, bidang-bidang keahlian dalam lingkungan pendidikan menengah kejuruan meliputi enam kelompok, yaitu; 1. Kelompok Teknologi dan Industri, 2. Kelompok Pertanian dan Kehutanan, 3. Kelompok Bisnis dan Manajemen, 4. Kelompok Pariwisata, 5. Kelompok Kesejahteraan Masyarakat dan 6. Kelompok Seni dan Kerajinan.
Dalam kelompok Teknologi dan Industri tercakup sekolah-sekolah yang menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang keahlian Teknologi/Teknik/Rekayasa Industri. Sebelum nama-nama sekolah kejuruan diubah dengan nama generik Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada tahun 1996/1997, sekolah-sekolah yang tercakup dalam Kelompok Teknologi dan Industri adalah Sekolah Teknololgi Menengah (STM). Dalam “kawasan” STM ini dikenal STM 3 tahun, Balai Latihan Pendidikan Teknik (BLPT) dan STM Pembangunan 4 tahun.
Beberapa Masalah dalam Implementasi Pendidikan Sistem Ganda di SMK

PSG merupakan program pendidikan yang dipilih untuk menjabarkan secara operasional kebijakan “Link and Match” pada pendidikan menengnah kejuruan. Secara teoritis, PSG merupakan sistem pendidikan yang sangat ideal untuk meningkatkan relevansi dam efisiensi SMK. Praktik siswa di industri merupakan bagian dari kegiatan penerapan PSG. Kepala sekolah dan guru-guru menempatkan praktik industri siswa sebagai bagian yang paling penting dalam pelaksanaan PSG. Kegiatan pemasyarakatan serta persiapan implementasi PSG hampir seluruhnya bertumpu pada upaya merangkul industri.

Dalam Implementasi PSG di sekolah diperlukan banyak kesiapan faktor-faktor pendukungnya seperti; Kesiapan Guru untuk Melaksanakan Inovasi, Kesiapan Kepala Sekolah dalam Melaksanakan Inovasi, Kesiapan Faktor Penunjang Praktik di Sekolah, dan Iklim Belajar di Sekolah. Lalu dalam Implementasi di Industri juga diperlukan beberapa kesiapan antara lain; Kesiapan Pekerjaan Praktik di Industri, Kesiapan Manajemen Perusahaan,dan Kesiapan Siswa dalam Mengikuti Praktik Industri. Dari penerapan kedua Implikasi pembelajaran baik di Sekolah dan di Industri belum terdapat keterkaitan karena kedua kegiatan tersebut masih berjalan sendiri-sendiri, dan bisa dikategorikan seperti masalah tertentu seperti; Kesiapan Majelis Sekolah, Standar Kompetensi Industri, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan.

Industri Berbasis Pengetahuan dan Pembangunan Teknologi Manufaktur.

Setiap Industri pasti menginginkan terjadinya sustained profitable growth atau langgeng atau berlanjutnya pertumbuhan yang menguntungkan, bahkan meningkat lagi. Dalam industri berbasis pengetahuan, kemampuan menghasilkan dan memanfaatkan pengetahuan untuk melakukan inovasi bukan hanya merupakan faktor penentu kemakmuran, melainkan juga merupakan basis untuk menciptakan keunggulan komparatif. Apalagi dalam era informasi dan globalisasi hanya industri-industri berbasis pengetahuanlah yang akan langgeng dan yang lain (misalnya berbasis tenaga kerja yang murah atau bahan baku yang melimpah saja) akan layu dan mati.

Globalisasi dalam industri manufaktur mengandung arti global market dan global manufacturing dengan tujuan agar industri manufaktur untuk secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya berpartisipasi dalam pasar global. Perubahan paradigma tersebut melahirkan paradigma baru dalam manufakturing yang dikenal dengan New Generation Manufacturing (NGM), sehingga keberhasilan suatu industri manufaktur akan tergantung pada jaringan kemitraan yang dibangunnya. Langkah-langkah yang harus diupayakan ialah membuat organisasi manufaktur menjadi bagian dari suatu globally extended enterprise dalam suatu jaringan kemitraan. Intinya ialah pemanfaatan metodologi-metodologi yang sangat disiplin dalam Rapid Product and Process Realization (RPPR) melalui: a. Integrated Product and Process Development (IPPD), b. Flexible and Modular Equiments and Processes, c. Integrated Product Teams (IPTs) yang dimotori oleh CE , d. didukung oleh suatu Enterprise-Wide Computing Environment, e. didukung oleh jaringan komunikasi global.


Pokok-Pokok Pikiran: Pengembangan Pendidikan Kejuruan Menjelang 2020

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang sejahtera. Di samping sumberdaya alam yang kaya, Indonesia memiliki tenaga kerja dalam jumlah yang berlimpah. Agar potensi tersebut dapat menjadi sumber daya pembaruan, yang diperlukan pendidikan yang bermutu dan relevan. Begitu pula dengan Diklat Kejuruan dituntut untuk mampu meningkatkan kompetensi generasi muda Indonesia yang akan memasuki dunia kerja, melatih ulang dan meningkatkan kompetensi mereka yang sudah bekerja, selaras dengan perkembangan teknologi dan perubahan pasar kerja.
Salah satu aspek penting dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan keterampilan menjelang 2020 ini adalah kesiapan pemerintah untuk mengantisipasi pendanaan yang diperlukan. Segala bentuk kebijakan pendanaan khususnya yang bersumber dari pemerintah pusat harus diarahkan pada pengembangan SMK masa depan, pola penyelenggaraan Diklat berbasis kompetensi, serta sistem pengujian dan sertifikasi yang mengacu kepada standar nasional dan internasional. Usaha-usaha tersebut sejauh mungkin menggunakan sumber daya ayng ada baik nasional maupun internasional, selaras dengan prakarsa negara-negara yang menjadi mitra kerjasama.

Perlunya Reposisi Pendidikan Kejuruan Menjelang 2020

Reposisi Pendidikan Kejuruan dimaksudkan sebagai upaya penataan kembali konsep, perencanaan, dan implementasi pendidikan kejuruan dalam rangka peningkatan mutu sumber daya manusia yang mengacu kepada kecenderungan (trend) kebutuhan pasar kerja baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun internasional.
Di antara tujuan dari reposisi pendidikan kejuruan adalah:
1. Menata ulang sistem Diklat kejuruan agar lebih fleksibel dan permeabel dengan menerapkan pola pembelajaran/pelatihan yang berbasis kompetensi.
2. Menata ulang program keahlian dan sistem pembelajaran pada SMK dengan menerapkan Competency Based Training (CBT).
Di antara manfaat dari reposisi pendidikan kejuruan adalah:
1. Para pengambil keputusan di daerah dapat memahami dengan baik kondisi, permasalahan, dan tantangan yang dihadapi oleh Diklat kejuruan beserta kaitannya dengan ketenaga-kerjaan.
2. Bagi para perencana pembangunan sumber daya manusia di wilayah, reposisi dapat dijadikan pertimbangan untuk mendukung upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan menjawab tantangan era global.

Posted on 10.35 by Unknown

2 comments