Jumat, 04 Juli 2014

Pengen nostalgia dengan zaman dimana Gue merasakan indahya masa kecil. Bagaimana tidak di setiap waktu kita disuguhi dengan sajian acara televisi yang benar-benar menghibur. Bukan acara komedi joged-joged berhadiah, atau acara orang naik naga terbang, apalagi main bola sama jungkir balik.

Dulu di tahun 90-an, ada banyak televisi yang muter kartun anak-anak, bahkan hampir semua stasiun televisi. ada yang muter tiap hari, dari jam siang sampe sore, ada juga yang tiap minggu pagi dari jam 6 pagi sampe jam 10. masa kecil anak-anak generasi tahun 90-an emang bener-bener dimanjakan ya.

Oke, langsung saja inila kartun yang pernah tayang bahkan booming di tahun 90-an sampe 2000-an.


1. Captain Tsubasa


Siapa sih yang nggak tahu Tsubasa Ozora? Katun ini sering menjadi panutan anak-anak ketika dia bermain bola. Kartun dengan sountrack yang masih Gue hafal sampai saat ini "lari lari lari ( lari lari lari) tendang dan berlari". Tsubasa membawa kesebelasan sekolahnya menjadi juara, dan membawa tim junior jepang menjuarai turnamen antar tim junior bersama Hyuga, Misaki, Matsuyama dan lain-lain.

2. Dragon Ball


Kartun karangan Akira Toriyama ini bisa dibilang kartun sepanjang masa. dari saya masih bayi (mungkin) sampe saat ini masih suka di puter di televisi. kartun yang ada dari oom saya masih SMP sampe sekarang udah punya anak. Dragon Ball bercerita tentang seorang bocah bernama SonGoku yang hidup di tengah gunung sendirian. Dia lalu bertemu dengan Bulma, seorang gadis muda yang berusaha mengumpulkan 7 bola ajaib yang katanya bisa mengabulkan semua keinginan. Bola-bola tersebut dinamakan Dragon Ball. Bahkan saking panjang ceritanya, Songoku ini sampai punya anak cucu, Songohan sama siapa lagi saya lupa.


3. Doraemon
Ini baru kartun sepanjang masa. nggak kalah panjangnya sama Dragon Ball. bahkan amsih diputer sampe sekarang. dan entah udah ada berapa episode aja kartun ini dibuat. nggak cuma serinya tapi juga film layar lebar. Doraemon adalah karya dari Fujiko Fujio yang bercerita tentang Nobita dan kucing dari abad 21.

4. Pokemon


Serial TV dan film teater Pokémon merupakan versi pengembangan dari seluruh seri permainan video Pokémon. Karakter utama dalam serial TV Pokémon adalah Ash Ketchum (alias Satoshi di versi Jepang).Ia bersama rekan-rekannya saling bahu membahu dalam perjalanan. Rekan-rekan Ash adalah Brock (versi Jepang: Takeshi, mantan pemimpin gym Pewter City), Misty (versi Jepang: Kasumi, pemimpin gym Cerulean City), Tracey Sketchit (Kenji), May (versi Jepang: Haruka, dari kota Petalburg), Max (Masato), dan Dawn (Hikari). Musuh utama tim ini adalah Team Rocket yang dipimpin oleh Giovanni Sakaki dengan anak buahnya yang selalu mengikuti kemanapun Ash pergi yaitu Jessie (Musashi), James (Kojiro), Meowth (Nyasu), dan Wobbuffet (Sonansu).

6. Digimon


Digimon (Dejimon) yang merupakan singkatan dari Digital Monster (Dejitaru Monsutā) adalah waralaba media dari Jepang untuk anak-anak yang dibuat dalam bentuk anime, manga, permainan video, permainan kartu, mainan, aksesoris barang, dan media lainnya. Diciptakan oleh tokoh misterius yang tidak pernah dikenal publik termasuk perannya dalam penciptaan Digimon yang bernama Akiyoshi Hongo. Digimon dirilis pertama kali oleh perusahaan Bandai pada tanggal 26 Juni 1997. Karena kesuksesannya, generasi kedua Digimon dirilis pada bulan Desember tahun itu juga dan diikuti oleh generasi ketiga pada tahun 1998.

7. Ninja Hattori


Ninja Hattori-kun adalah serial manga oleh Fujiko Fujio yang kemudian diadaptasi menjadi sebuah drama TV, serial anime, dan permainan video.Di Indonesia,serial ini ditayangkan di RCTI tahun 90-an & Spacetoon (Indonesia) tahun 2011.
Serial ini bercerita tentang Kenichi Mitsuba (10 tahun) adalah anak biasa yang pergi ke sekolah dasar untuk belajar. Sementara itu seorang ninja kecil bernama Hattori Kanzo berteman dengan Kenichi. Hattori yang sekarang menjadi bagian dari keluarga Mitsuba bersama dengan saudaranya, Shinzou dan anjing ninjanya, Shishi-Maru. Hattori membantu Kenichi dengan berbagai masalah yang dihadapinya dan terus menjaganya sebagai seorang teman yang baik. Yumeko-chan adalah gadis yang disukai oleh Kenichi. Sedangkan Kimimaki, seorang Ninja dari Koga dan kucing ninjanya, Kagekiyo ( masing-masing disebut Amara dan Kiyo dalam versi India) selalu membuat masalah dengan Kenichi. Kenichi meminta Hattori untuk membalas dendamnya. Meskipun Hattori adalah teman yang baik, Kenichi kadang-kadang berkelahi dengan Hattori karena kesalahpahaman yang dibuat oleh Kemumaki. Kadang-kadang Jippou, Togejirou dan Tsubame juga membantunya.Film ini memiliki alur cerita mirip Doraemon.

8. P-Man


P-Man adalah serial televisi yang becerita tentang seorang super hero bernama Bird-Man yang bertugas menjaga keamanan di alam semesta ini. Untuk menjaga keamanan bumi, Bird-Man menugaskan seorang anak kelas 4 SD yang bernama Mitsuo yang jika menggunakan jubah dan topengnya dapat berubah menjadi P-Man. Namun karena Mitsuo tetap seorang anak yang mempunyai kewajiban untuk sekolah, dll, jika dia harus menjadi P-Man, Bird-Man memberi dia sebuah robot yang dapat menggantikan tugasnya sebagai Mitsuo.
Dalam menjalankan tugasnya P-Man dibantu oleh P-Girl, Booby dan Fat-Man. Sedangkan sebagai Mitsuo dia memiliki tiga orang teman yang bernama Kabao, Sabu dan gadis cantik teman sekolahnya yang disukainya yang bernama Mi-Chan. Mitsuo juga memiliki adik perempuan yang bernama Ganko. Ganko yakin P-Man itu adalah kakaknya sendiri yang bernama Mitsuo, tapi dia tidak pernah bisa membuktikan hal tersebut.

13. Beyblade


Beyblade (Beiburēdo) adalah judul sebuah serial anime dan manga buatan Takao Aoki dan Takafumi Adachi yang bercerita tentang sekelompok anak-anak yang bertarung dengan menggunakan gasing-gasing canggih dan memiliki kekuatan-kekuatan tertentu. Tokoh utama serial ini adalah seorang anak kelas VIII bernama Tyson Granger (Kinomiya Takao dalam bahasa Jepang dan Indonesia), dan temannya, Kai Hiwatari, Ray Kon dan Max Tate. Takao dan kelompoknya banyak bertemu dengan teman-teman, musuh ataupun saingan baru dalam perjalanan.
Beyblade pertama kali muncul tahun 1999 dalam bentuk manga dan mainan yang hanya beredar di Jepang. Setelah versi manganya meraih sukses, Beyblade versi anime kemudian diluncurkan; tak hanya di Jepang, melainkan juga di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, China, Eropa, dan Indonesia. Di Jepang, anime Beyblade berhenti tayang sejak tahun 2004, namun pada bulan Juli 2006, anime ini kembali ditayangkan oleh Indosiar dan juga berhenti pada tahun 2007.

14. Let's Go


Let’s and Go bercerita tentang adik kakak yang gemar sekali bermain tamiya yaitu Retsu dan Go. Retsu memiliki tamiya bernama Sonic Saber dan Go memiliki tamiya bernama Magnum Saber. Yang saya inget tamiya mereka berubah atau evolusi dari manum saber, victory magnum, cyclone magnum kalo nggak salah sih :D

15. Detective Conan

Detektif Conan (Meitantei Konan) adalah sebuah serial manga detektif yang ditulis dan digambar oleh Gōshō Aoyama. Serial ini menceritakan tentang Shinichi Kudo, seorang detektif sekolah menengah atas, yang tubuhnya mengecil akibat sebuah racun.
Shinichi Kudo, seorang detektif SMA berusia 17 tahun yang biasanya membantu polisi memecahkan kasus, diserang oleh 2 anggota sindikat misterius ketika mengawasi sebuah pemerasan. Ia kemudian diberi minum racun misterius yang baru selesai dikembangkan untuk membunuhnya. Namun, karena sebuah efek samping yang jarang terjadi yang tidak diketahui anggota sindikat tersebut, racun tersebut mengakibatkan tubuhnya mengecil seperti anak kecil berusia tujuh tahun setelah mereka meninggalkannya.
Untuk menyembunyikan identitasnya dan untuk menginvestigasi keadaan sindikat tersebut, yang selanjutnya dikenal dengan nama Organisasi Berbaju Hitam atau Organisasi Hitam, dia menyamarkan namanya menjadi Conan Edogawa. Untuk mencari jejak sindikat tersebut, dia tinggal bersama dengan teman sejak kecilnya, Ran Mouri, yang ayahnya, Kogoro Mouri, merupakan seorang detektif swasta Dia bersekolah di SD Teitan dan membentuk Grup Detektif Cilik dengan 3 teman sekelasnya, yaitu: Ayumi Yoshida, Mitsuhiko Tsuburaya, dan Genta Kojima. Meskipun tubuhnya mengecil, ia tetap memecahkan kasus. Biasanya, ia menyelesaikan kasus-kasus tersebut dengan meniru suara Kogoro Mouri dengan alat yang diciptakan oleh tetangganya, Profesor Agasa.

16. Crush Gear


Crush Gear Turbo (Gekito! Crush Gear Turbo), atau sering disebut sebagai Crush Gear, adalah judul sebuah serial anime dan manga yang diproduksi oleh Sunrise dalam 68 episode. Filmnya sendiri pertama kali disiarkan di Jepang oleh jaringan televisi Animax sejak 7 Oktober 2001 sampai tanggal 26 Januari 2003. Film itu kemudian dilanjutkan oleh sekuelnya Crush Gear Nitro yang juga disiarkan oleh Animax di Jepang. Pengalaman dulu pernah punya Shooting mirage sama dino spartan, lawan punya temen pake Gaiki yang kotak batrenya bisa maju-maju. :D

Posted on 13.57 by Unknown

1 comment

Selasa, 24 Juni 2014

Pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya dikelola, baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal tersebut bisa tercapai apabila siswa dapat menyelesaikan pendidikan tepat pada waktunya dengan hasil belajar yang baik. Beberapa faktor diantaranya yang dapat mempengaruhi hasil belajar peserta didik adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan menerapkan metode-metode yang tepat, dan cara yang disukai peserta didik pada saat belajar.
Ketidaksesuaian beberapa faktor di atas dapat mempengaruhi hasil belajar peserta didik. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa penguasaan siswa terhadap kompetensi mata pelajaran yang dibelajarkan masih rendah. Dari beberapa mata pelajaran yang dibelajarkan di sekolah salah satunya adalah mata pelajaran Fisika. Fisika merupakan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk menunjang keberhasilan belajar dalam menempuh pendidikan lebih lanjut.
Faktor-faktor yang dimaksud di atas diantaranya adalah seperti kurangnya pemahaman, penguasaan materi pelajaran, cara penyajian pelajaran yang kurang/tidak sesuai, siswa yang kurang menyukai pelajaran itu sendiri serta daya intelegensi yang rendah. Tetapi umumnya faktor-faktor di atas juga dipengaruhi oleh gaya belajar siswa. Gaya belajar siswa berperan sebagai saringan untuk pembelajaran, pemrosesan dan komunikasi. Oleh sebab itu, pembelajaran
Fisika yang umumnya dikenal sulit bagi siswa membutuhkan tipe gaya belajar yang tepat yang sesuai dengan metode pembelajaran agar mata pelajaran Fisika lebih disukai dan memicu kreativitas belajar yang akhirnya akan mendapatkan hasil belajar yang lebih baik.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa salah satu faktor penting yang diduga menyebabkan rendahnya hasil belajar Fisika adalah gaya belajar siswa yang tidak sesuai dengan ragam metode pembelajaran di kelas. Untuk mengetahui apakah kesesuaian ragam metode pembelajaran dan gaya belajar siswa dapat mempengaruhi hasil belajar Fisika. Untuk melihat pengaruhnya, maka perlu untuk dilakukan penelitian dengan judul “pengaruh metode pembelajaran dan gaya belajar terhadap hasil belajar”.
Pengertian Gaya Belajar
Menurut Gunawan (2004), gaya belajar adalah cara yang lebih kita suka dalam melakukan kegiatan berpikir, memproses dan mengerti suatu informasi. Misalnya jika kita ingin mempelajari mengenai tanaman, apakah kita lebih suka nonton video soal tanaman, mendengarkan ceramah, membaca buku ataukah kita bekerja langsung di perkebunan atau mengunjungi kebun raya. Menurut De Porter & Hernacki menyatakan bahwa gaya belajar seorang anak adalah kombinasi bagaimana anak tersebut menyerap, kemudian mengatur dan mengolah informasi. Sedangkan menurut Marsha (1996), menyatakan gaya belajar merupakan hal yang penting karena pendidikan disesuaikan dengan keunikan individu. Perbedaan individu harus dihargai karena gaya belajar merupakan ungkapan dari keunikan setiap orang. Dengan individu, merupakan bentuk nyata identitas seseorang, bersama-sama, gaya belajar juga menyampaikan kesempurnaan budaya kita. Mortimore (2008), dalam bukunya
Dyslexia and Learning Style menyatakan bahwa gaya belajar merupakan satu aspek dari gaya kognitif, hal ini menandakan bahwa adanya perbedaan antara gaya belajar dengan gaya kognitif. Perbedaan-perbedaan ini penting karena gaya kognitif secara otomatis dilakukan seseorang dalam memproses stimulasi yang datang dan gaya belajar dapat dilihat dalam hal strategi bagaimana seorang siswa mengatasi tugas-tugas dan situasi belajar. Messick (1996) mengusulkan bahwa gaya kognitif individu bervariasi dan terkait dengan perbedaan individu. Sims & Sims (1995), menyatakan bahwa bagaimana seseorang belajar merupakan konsep fokus dari gaya belajar. Gaya belajar dapat didefinisikan sebagai karakteristik kognitif, afektif, dan perilaku-perilaku psikologis yang berlaku sebagai indikator bahwa pembelajar relatif stabil dalam merasakan adanya interaksi dengan/dan merespon terhadap lingkungan belajar.

Pengertian Hasil Belajar
Belajar dan mengajar merupakan konsep yang tidak bisa dipisahkan. Dua konsep tersebut dilakukan oleh siswa dan guru terpadu dalam satu kegiatan.

Hal ini seiring dengan apa yang kemukakan oleh Sudjana (2004:22), bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Selain itu, menurut Gagne dan Driscoll (1988:36) hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa sebagai akibat perbuatan belajar dan dapat diamati melalui penampilan siswa.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa melalui proses belajar mengajar yang dinyatakan dengan angka-angka atau nilai-nilai berdasarkan tes hasil belajar Fisika.

Pengertian Metode Pembelajaran
Menurut Sudjana (2005:76) metode pembelajaran ialah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran”. Sedangkan menurut Sutikno (2009: 88) menyatakan, “Metode pembelajaran adalah cara-cara menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses pembelajaran pada diri siswa dalam upaya untuk mencapai tujuan”.
a. Metode Pembelajaran Kooperatif
Menurut Slavin pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok, siswa dalam satu kelas dijadikan kelompok - kelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai 5 orang untuk memahami konsep yang difasilitasi guru. Smith dan Gregor (1992) mendefinisikan cooperative learning sebagai “the most carefully structured end of the collaborative learning contiunuum” (Ravenscroft, 1995). Johnson, Johnson dan Holubec (1994) mendefinisikan cooperative learning sebagai “the instructional use of small groups so that students work together to maximize their own and each other’s learning” (Phipps et al., 2001).
b. Metode Pembelajaran Berbasis Masalah
Penyampaian materi dengan menggunakan metode pembelajaran berbasis masalah memungkinkan menggunakan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan seperti halnya pelajaran Fisika yang terkait dekat dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai yang dikemukakan Abbas, (2000: 12) menyatakan bahwa metode pembelajaran berbasis masalah adalah metode pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik, sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri. Metode ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan menyelesaikan masalah, serta mendapatkan pengetahuan konsep-konsep penting. Begitu juga dengan H.S. Barrows (1982) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah sebuah metode pembelajaran yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah (problem) dapat digunakan sebagai titik awal untuk mendapatkan atau mengintegrasikan ilmu (knowledge) baru.
Dengan demikian, masalah yang ada digunakan sebagai sarana agar anak didik dapat belajar sesuatu yang dapat menyokong keilmuannya.
Metode Pembelajara
Siswa yang belajar dengan metode pembelajaran kooperatif lebih unggul daripada siswa yang belajar dengan metode pembelajaran berbasis masalah. Hal ini dapat difahami bahwa metode pembelajaran yang mengacu pada metode pengajaran dimana siswa bekerja bersama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar, hal ini dilakukan dengan partisipasi tinggi setiap siswa. Dengan metode ini, mengarahkan cara belajar siswa menuju belajar yang lebih baik, sikap tolong-menolong dalam perilaku sosial, seperti menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan ide. Peluang untuk diskusi sangat besar untuk dilakukan. Sedangkan metode pembelajaran berbasis masalah merupakan metode yang didasarkan pada prinsip menggunakan masalah sebagai titik awal pembelajaran. Penyampaian materi dengan metode ini memungkinkan menggunakan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan. Hanya saja siswa dalam upaya penyelesaian masalah yang diberikan tidak bekerjasama dengan siswa lainnya atau siswa tidak bekerja dalam kelompok-kelompok kecil. Sehingga siswa berupaya menuangkan idenya sendiri secara maksimal. Sharing informasi antar siswa kemungkinan kecil terjadi.
2. Metode Pembelajaran dan Gaya Belajar
Hasil perhitungan uji lanjut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar Fisika antara siswa yang memiliki gaya belajar visual yang belajar dengan metode pembelajaran kooperatif dan siswa yang memiliki gaya belajar visual yang belajar dengan metode pembelajaran berbasis masalah.
Siswa yang memiliki gaya belajar visual yang belajar dengan metode pembelajaran kooperatif lebih unggul daripada siswa yang memiliki gaya belajar visual yang belajar dengan metode pembelajaran berbasis masalah. Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa siswa bekerja bersama dalam kelompok sehingga berbagi informasi sangat mudah untuk dilakukan. Mereka juga dapat memanfaatkan informasi baik secara lisan maupun dalam bentuk gambar-gambar. Hal ini sesuai bagi mereka yang memiliki kecenderungan gaya belajar visual. Bagi siswa yang memiliki kecenderungan gaya belajar visual, mereka lebih mengingat apa yang dilihat daripada apa yang didengar. Mereka melihat dengan asosiasi visual dan biasanya tidak terganggu oleh keributan. Apalagi berbagai informasi mereka lakukan dalam bentuk diskusi yang dilengkapi visualisasi.
Karakter siswa dengan gaya belajar visual cenderung lebih cepat menyerap informasi dengan melihat bagaimana guru menerangkan di depan kelas baik dengan alat bantu tulisan, data maupun gambar. Mereka berbicara dengan cepat, perencanaan dan pengatur jangka panjang yang baik. Mereka mementingkan penampilan baik dalam pakaian maupun presentasi. Mereka pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata atau tulisan yang sebenarnya dalam pikiran mereka.
Bagi siswa yang belajar dengan metode pembelajaran berbasis masalah berpeluang besar belajar dengan kemampuan sendiri sehingga gagasan yang muncul merupakan hasil dari apa yang difikirkan. Artinya kerjasama dengan siswa lain dapat dinyatakan sangat kecil. Selain itu, sebagaimana dinyatakan pada paragraf di atas bahwa siswa yang memiliki kecenderungan gaya belajar visual, mereka lebih mengingat apa yang dilihat daripada apa yang didengar.
Oleh karena itu, kesesuaian metode pembelajaran dan gaya belajar harus sesuai satu sama lain yang didukung dengan fasilitas yang relevan.

Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
a) Terdapat Pengaruh antara Metode Pembelajaran Kooperatif dan Metode Pembelajaran Berbasis Masalah Hasil belajar siswa yang belajar dengan Metode Pembelajaran Kooperatif lebih tinggi daripada hasil belajar siswa yang belajar dengan Metode Pembelajaran Berbasis Masalah
b) Terdapat Pengaruh antara Siswa yang Belajar dengan Metode Pembelajaran Kooperatif yang memiliki Gaya Belajar Visual dan Siswa yang Belajar dengan Metode Pembelajaran Berbasis Masalah yang memiliki Gaya Belajar Visual Hasil belajar siswa yang memiliki gaya belajar Visual yang belajar dengan Metode Pembelajaran Kooperatif lebih tinggi daripada hasil belajar siswa yang memiliki gaya belajar Auditorial yang belajar dengan Metode Pembelajaran Berbasis Masalah.
c) Terdapat Interaksi antara Metode Pembelajaran dan Gaya Belajar Terdapat pengaruh antara metode pembelajaran dan gaya belajar terhadap hasil belajar.


2. Saran
Guru dan Orang tua
Guru dan orang tua senantiasa memahami perkembangan anak, guru dapat memahami perkembangan anak di dalam kelas sedangkan orang di lingkungan keluarga. Oleh karena itu, cara terbaik untuk memberikan stimulasi belajar pada siswa adalah memberi dukungan penuh pada minatnya dan menyediakan aneka ragam kebutuhan belajarnya untuk menunjang kesinambungan proses pemaknaan belajarnya. Misalnya anak merasa tidak mengerti dengan penjelasan guru tentang metamorfosis kupu- kupu, maka orang tua dapat membantu dengan diskusi di rumah. Jika perlu menyediakan CD/ film dan berbagai alat peraga (stimulasi visual) dan menyediakan sarana untuk percobaan (memelihara ulat dalam botol dan diamati sampai menjadi kupu-kupu).

Posted on 15.19 by Unknown

1 comment


“We’ve wired the schools — now what?” This question resonates with educators, and troubles them at the same time. After countless local and national efforts have boosted the infrastructure of our schools, the significant issues now arise. Should we continue to pump money into educational technology for our schools? Do computers really help students learn? How can students and teachers best learn from the World Wide Web and its content? These questions are not new, nor unique to the dawn of Internet-connected schools. Earlier technologies, This evidence is but a taste of the rich and compelling research studies that demonstrate students learning from technology. Regardless of the means—be it television or computer, or even computer-delivered streaming video—when content is presented with purpose, the student can experience the content and attach the new information to that which is already known. This process of creating associations and making meaning is part of learning. Educational technologies expand our access to new information and support our efforts to make meaning.
On September 29, 1989, leaders of the cable industry—38 CEOs in all—sat together to found the Cable Alliance for Education, a non-profit foundation with a mission to support excellent education work across the industry. It was indeed an alliance—a national consortium of cable operators and networks—aimed at serving teachers and students in K-12 schools across the country, and based on the premise that powerful technology and rich content can help make learning happen.
The cable industry’s unfaltering commitment to education has continued from that day to this. And this Alliance for Education, renamed Cable in the Classroom, now stands at the threshold of its own renaissance. Our own revitalization began with fresh perspective and a simple question: given the last decade’s developments in learning theory and technology, and given technology’s pervasiveness in schools, how can we reshape and refocus our work in a way that will benefit learners to the greatest extent possible? We are led by an educational philosophy, which holds that every student and teacher has a right to five elements essential to a good education in the 21st century:
• Visionary and sensible use of technology to extend learning
• Engagement with deep, rich content
• Membership in a meaningful community of learners
• Excellent teaching
• Support of parents and other adults.
As the founders of Cable in the Classroom were in 1989, we are still compelled by the explosion of media and developing technologies and their power to affect learning. And as always, we are driven by the absolute truth that good teaching and good learning are the most potent forces on earth. Without them, After 30 years on the Columbia University faculty, I now spend all my time examining the learning outcomes available from technology. Despite that concentration, I still benefited from Marshall’s close analysis of how technology advances learning. At a time when landmark federal legislation—the “No Child Left Behind” Act of 2002—makes 110 references to “evidence-based” decisions about teaching and learning, this review of the empirical data is particularly helpful.
Technology is anything that extends human capability. Technology got started when chimpanzees concluded that a stick in the fist was more persuasive than an empty hand. People continue to debate the merits of learning technology in policy forums and in practical settings. Marshall’s review of the dynamics beneath the uneven trajectory of classroom adoption of technology is apt, particularly when coupled with the evidence he assembles about the positive contributions of TV. Like any technology, TV can be turned to purposes that are bad, indifferent, or good. Marshall does everyone a service in recalling our attention to the positive gains from this ubiquitous medium.
Whatever the outcomes of adult pondering, we are fortunate to be led by little children. Consider the dominance of technology platforms in the responses of 6- to 11-year-olds to the question, “What makes a new subject in school most interesting to me?”
• Internet 34%
• TV program 24%
• Teacher 26%
• Textbook 12%
Source: USA Today
Ask a child to picture “learning,” and the classroom and the teacher naturally come to mind. Classrooms, teachers, desks, paper, and pencil are all part of the traditional learning environment. The past century has supplemented and enriched this traditional environment with new ways of presenting content for learning.
Today, opportunities abound for learning through multiple media—from pictures, overhead projectors, and filmstrips to moving pictures, videos, and computers. And yet, do these educational technologies and the content that they provide result in learning? Extensive research into learning with technology provides conclusive evidence that people can, and do, learn from educational technologies. Our exploration of educational technology begins with “Highlights in the Evolution of Educational
Technology,” an abbreviated history of technological developments across the 20th century. We limit the focus to technologies employed for educative pursuits. Historical evidence suggests that technology can, and did, teach.
“The Process of Learning: A Learning Primer” provides a buffet of theories that address how people learn. We discuss learning as both a neurological process and a result of interacting with the environment around us.

Highlights in The Evolution of Educational Technology
The term “educational technology” often brings to mind the hard technologies—the tangible “stuff”— used for teaching and presenting content — in other words, the medium. From simple graphical illustrations and projectors for film and filmstrip alike, to the more complex Internet-surfing computers, these tools are central to the educational technology equation. These devices share a rich history; their development and evolution into the 21st century are punctuated with applications to traditional and nontraditional learning endeavors.
Although this early history emphasizes hard technologies, these tools would be an unsuccessful means for learning without the content they deliver. As we review selective moments in history, note the shift from interest in the technology to a focus on the content the technology provides, suggesting that the media may not be the only message.
Although use of visual illustrations for learning can be identified long before the 20th century, the birth of technology-based learning coincides with audiovisual media being introduced into U.S. schools in the early 1900s (Reiser, 1987). In some cases, technology-based learning entered educational institutions through “school museums.” These forerunners to today’s school media center served as repositories for visual instruction. They distributed portable museum exhibits, stereographs, slides, films, study prints, charts, and other materials designed to enhance instruction (Saettler, 1968). References to “visual education” can be found as early as 1908, when the Keystone View Company’s publication Visual Education guided teachers’ use of lantern slides and stereographs (Saettler, 1968).
This history provides evidence that learning can result from the use of educational technologies. Early use of these “tools of learning” provided tangible results and prompted interest in the increasing potential for learning by technology.

The Process of Learning: A Learning Primer
Unbearable disturbance or saving radiance? Although E.B. White may have never imagined television entering our classrooms to educate, query educators about classroom use of technology and you will uncover evidence to support either of White’s assertions. Educators who hold the belief that technology supports learning use educational technologies. Those who lack such beliefs may consider it an unbearable disturbance.
Today’s movement to hold teachers accountable for student learning places considerable pressure on teachers to ensure increases in each student’s knowledge and abilities. Teachers need proof that multimedia experiences can support increases in knowledge—powerful increases if employed thoughtfully and with purpose.
Such proof begins with understanding how people learn and how this process of learning is a natural match to the content that educational technologies can present. Learning changes the brain anatomically; with each new stimulation, experience, and behavior, it can rewire itself. Because we are all raised in different environments with different experiences, each brain is unique.
Even identical twins do not have identical brains. It is also worth noting how this “making of associations” parallels the research literature that addresses motivation and design of effective technology-based instruction. Establishing relevance to the instructional content is the second component of John Keller’s (1998) ARCS model, a system for improving the motivational appeal of instructional materials. Malone and
Lepper (1987) created a heuristic for designing intrinsically motivating learning environments that identifies features needed to enhance individual and interpersonal motivations. To enhance individual motivation, the heuristic calls for developing appropriate levels of challenge and feedback in the design of the instruction.
In this section, we’ve made the point that learning is the process of making connections.
• The brain is constantly working to make associations between existing knowledge and new information it receives.
• Educational technology can employ diverse approaches to support this process of learning.
• Storytelling is an ancient and proven strategy used to scaffold information and knowledge, facilitating the transfer from one person to another.
• Presenting information in multiple modalities (audio, visual, textual) can increase the chance that learning will occur.
• People generally remember 10 percent of what they read, 20 percent of what they hear, 30 percent of what they see, and 50 percent of what they hear and see.
• Active viewing of media by children is not a simple response but is a complex, cognitive activity that develops and matures with the child’s development to promote learning.
The ability of media to engage the learner, activate emotional states, initiate interest in a topic, and allow for absorption and processing of information shares a direct relationship to the potential that learning will occur.

Research-Based Evidence: Learning with Educational Technology
Research evaluating technology and learning has a long history. The beginnings date back to the Payne Fund
studies of the 1930s, one of the first large-scale efforts to investigate media’s role in influencing people (Krendl, Ware, Reid, and Warren, 1996). Study findings supported the potential of the film as an informal learning instrument. These studies linked a film’s ability to educate with a combination of important qualities inherent in the medium: wide variation in content, gripping narrative techniques, and an appeal to basic human motives and wishes.
The expansion of television programming and viewing in the mid-20th century set the stage for investigating how television entertainment impacted children. Schramm, Lyle, and Parker conducted the first major exploration of this premise in 1961 (as cited in Krendl et al., 1996). The study emphasized how children learn from television viewing and developed the concept of “incidental learning.” Although the viewer’s intent is entertainment, he or she stores up certain information without seeking it and learning occurs in spite of the intention of the program or of the viewer.
In their summary chapter of the book “G” is for growing: Thirty years of research on children and Sesame Street, Fisch and Truglio (2001) point to “a consistent pattern of significant effects” (p. 233) in academic areas, emergent literacy, school readiness, and social behaviors. This was seen in the very first studies conducted in the early 1970s by Ball and Bogatz (1970; Bogatz and Ball, 1971) who demonstrated that the children who watched the most, learned the most.
This was true regardless of age, viewing, geographic location, socioeconomic status, or gender. Numerous subsequent studies have further demonstrated the positive impact of Sesame Street viewing on children’s learning and school readiness (see box on page 17). Today, Sesame Street remains as popular and as relevant as ever.
Consequences curriculum (the curriculum group), and 10 classrooms did not (the control group). A predesign and postdesign assessed students’ legal knowledge, empathy, perceptions of risk, and antisocial behavior.
The study documented the following results:
Choices and Consequences impacted students’ acquisition of legal terms and the American court system; participating students demonstrated understanding of an additional eight legal terms on average, compared with no change in the control group.
Although both groups demonstrated similar scores regarding “empathy toward other people” as measured by the pretest, students participating in the program scored appreciably higher on the posttest, while control group empathy scores remained essentially unchanged.
This section has presented diverse results of research proving that students can and do learn from educational technology. The following research results are among the significant findings that support this conclusion:
• Watching the television program Blue’s Clues has strong effects on developing preschool viewers’ flexible thinking, problem solving, and prosocial behaviors when they are compared with children who do not watch the program (Bryant et al., 1998).
• Court TV’s Choices and Consequences program reduced middle school students’ verbal aggression, including tendencies to tease, swear at, and argue with others (Wilson et al., 1999).
• Viewing Sesame Street was positively associated with subsequent performance in reading, mathematics, vocabulary, and school readiness (Wright, Huston, and Kotler, 2001).
• A “recontact” study with a sample of 15- to 20-year-olds found that those who had been frequent viewers of Sesame Street at age 5 had significantly better grades in English, scienceand mathematics; read more books for pleasure; and had higher motivation to achievement (Huston et al., 2001).
• Students show greater achievement on standardized tests after using computers for mathematics problem solving (Clouse, 1991–92; Phillips and Soule, 1992).
• Remedial reading students using computer reading games for reinforcement and remediation showed significant knowledge gains and improved attitudes toward reading (Arroyo, 1992; Nixon, 1992).
• Learning-disabled (LD) students using computer simulations score significantly higher than traditionally taught students (both LD and non-LD) on recall of basic information and problem-solving skills (Woodward, Carnine, and Gersten, 1988).
• Use of educational technologies accounts for at least 11 percent of the total variance in the basic skills achievement gain scores of fifth- grade students, as measured in a 10-year West Virginia statewide study (Mann et al., 1999

View from the Future: Emerging Technologies
The number of connections in schools is also increasing. Previously, a “connected” school may have had a single Internet access point, often in the school office.
Today, more than 82 percent of schools nationwide have Internet access in one or more classrooms. In fact, the amount of connectivity in these particular schools is even more encouraging: on average, 80 percent of the classrooms are connected to the Internet (Education Week, 2001).
In the future, classrooms and schools will continue to expand in the types and amounts of technologies available, and teachers will be challenged even more to appropriately integrate technologies into their curricula.
Increased broadband Internet access and enhanced computers in schools will increase the use of technologies that merge video and desktop computing, such as webcasts, videoconferencing, digital movie making, and digital TV. Handheld computing and wireless technologies have also made entry into the classroom. Already, a small number of schools and classrooms are beginning to tap into these newer technologies. Below, we briefly highlight and review some of these new technologies and envision their contribution to learning.
This section has briefly explored the potential of new and emerging technologies and imagined the contributions they may bring to educational pursuits. These new technologies will increase our access to information and to other people, prompting new ways of learning and new understanding. Teachers will need to ensure that students not only learn but also learn how to learn. This ability will be their competitive advantage in the information era.

Conclusion
This paper has offered conclusive evidence that educational technologies impact learning. From early 20th-century classroom examples, training films, and mainframe computers to Sesame Street, Court TV’s Choices and Consequences, and the Apple Classrooms of Tomorrow, it has been proven that when technology is employed purposefully for defined outcomes, it can support and facilitate learning.
At the same time, learning is not a guaranteed outcome. Lack of purpose in the design of instructional content and the strategies employed to present that content in a technology-based environment can cause programs to fail. And once in the classroom, even a well-designed program can fail. With everincreasing choices for both technology (i.e., films, video, multimedia, or Internet) and content, the need is unprecedented for thoughtful, purposeful use, carefully aligned with complementary classroom instruction and desired learning outcomes.
Knowing that educational technology does result in learning, perhaps the question we should now ponder is how we can optimize learning with technology—before the content reaches the classroom and once it is in the hands of students and teachers. The recipe for success goes beyond technology and content to the learner, the teacher, and the environment in which technology is employed.
As technology continues to advance, we have ever-increasing opportunities to present content and to create rich, technology-based environments and experiences where learning can occur. Technology can take us to new places; technology can support new connections with others around the world, which means new perspectives and experiences. Such opportunities will certainly result in many types of learning for children. The need to design new research methods and techniques that support further understanding of how people learn from technology and how educators can use technology to support learning endeavors will continue to challenge. Thoughtful attention to the content that is developed and the availability of that content to students via technology will enable educators to ensure that such opportunities benefit the learning of children in their charge.

Posted on 12.52 by Unknown

1 comment

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan keaktifan dan prestasi belajar siswa pada Mata Pelajaran Membaca Gambar Sketsa melalui penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif di kelas X.TPM-A Jurusan Teknik Pemesinan SMK Negeri 2 Klaten.

Jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah Penelitian Tindakan Kelas. Penelitian ini dilaksanakan dengan kolaborasi antara peneliti, rekan observer, guru kelas dan melibatkan partisipasi siswa. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X.TPM-A Jurusan Teknik Pemesinan SMK Negeri 2 Klaten tahun pelajaran 2012/2013, yang berjumlah 32 siswa. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan berupa: (a) observasi; (b) tes; dan (c) angket. Prosedur penelitian tindakan meliputi tahap: (a) perencanaan tindakan, (b) pelaksanaan tindakan, (c) observasi terhadap tindakan, dan (d) refleksi terhadap tindakan.

Hasil observasi pada proses pembelajaran siklus I dan siklus II menunjukkan bahwa keaktifan ranah afektif siswa mengalami peningkatan pada rerata persentase skor siswa, yaitu dari 72,63% di akhir siklus I menjadi 78,31% di akhir siklus II. Rerata persentase pada hasil observasi keaktifan ranah psikomotorik siswa juga meningkat, yaitu dari 75,81% di akhir siklus I menjadi 79,63% di akhir siklus II. Sementara itu, pada hasil tes prestasi belajar kognitif yang dilakukan di kegiatan pra siklus, siklus I dan siklus II, terjadi peningkatan nilai rata-rata kelas dan jumlah siswa yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Nilai rata-rata kelas pada pra siklus sebesar 7,1, kemudian meningkat menjadi 7,8 pada siklus I dan meningkat lagi menjadi 8,2 pada siklus II. Jumlah siswa yang telah mencapai KKM pada pra siklus sebanyak 11 orang (34,38%), meningkat menjadi 20 orang (62,50%) pada siklus I dan meningkat kembali menjadi 28 orang (87,50%) pada siklus II.

Kata Kunci: Metode Pembelajaran
Kolaboratif, Prestasi Belajar Siswa,
Membaca Gambar Sketsa.

A. Latar Belakang

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan pendidikan formal pada tingkat menengah yang membekali peserta didiknya dengan keahlian dan ketrampilan di bidang tertentu dalam menghadapi dunia kerja. SMK mempunyai peran strategis dalam mendukung secara langsung pembangunan nasional, khususnya untuk mempersiapkan tenaga kerja yang terampil dan terdidik yang dibutuhkan oleh dunia industri. Sejalan dengan tujuan tersebut, maka siswa SMK dibekali pengetahuan dan ketrampilan sesuai jurusan masing-masing. Salah satu pengetahuan dan ketrampilan yang diberikan di kelas X Jurusan Teknik Pemesinan SMK Negeri 2 Klaten adalah pengetahuan gambar teknik yang terangkum dalam mata pelajaran Membaca Gambar Sketsa (MGS).

Tujuan diberikannya mata pelajaran Membaca Gambar Sketsa (MGS) adalah agar siswa dapat memperoleh bekal berupa ketrampilan membaca gambar teknik sebagai persiapan sebelum praktik di bengkel pemesinan maupun fabrikasi. Proses pembelajaran yang dilakukan pada mata pelajaran ini adalah belajar teori gambar teknik yang disampaikan dengan metode ceramah disertai tanya jawab dan praktik menggambar dengan secara manual yang didemonstrasikan langsung oleh guru.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana peningkatan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran pada Mata Pelajaran Membaca Gambar Sketsa melalui penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif?

2. Bagaimana peningkatan prestasi belajar siswa pada Mata Pelajaran Membaca Gambar Sketsa melalui penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif?

C. Tujuan

1. Mengetahui peningkatan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran pada Mata Pelajaran Membaca Gambar Sketsa melalui penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif.

2. Mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa pada Mata Pelajaran Membaca Gambar Sketsa melalui penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif.


LANDASAN TEORI

A. Metode Pembelajaran

Menurut Roestiyah N.K. (2001: 1), metode mengajar diartikan juga sebagai teknik guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas, agar pelajaran tersebut dapat ditangkap, dipahami, dan digunakan oleh siswa dengan baik. Menurut Made Wena (2011: 2), strategi atau metode pembelajaran berarti cara atau seni untuk menggunakan semua sumber belajar dalam upaya pembelajaran siswa. Hamdani (2011: 81), menyimpulkan bahwa proses belajar mengajar merupakan proses interaksi edukatif antara guru yang menciptakan suasana belajar dan siswa yang memberi respon terhadap usaha guru tersebut. Metode pembelajaran yang ditetapkan guru sebaiknya memungkinkan siswa banyak belajar melalui proses (learning by process), bukan hanya belajar produk (learning by product). Belajar produk hanya menekankan pada segi kognitif, sedangkan belajar proses dapat memungkinkan tercapainya tujuan belajar dari segi kognitif, afektif, maupun psikomotor. Oleh karena itu, pembelajaran harus diarahkan untuk mencapai sasaran tersebut, yaitu lebih banyak menekankan pembelajaran melalui proses karena yang penting dalam mengajar bukan upaya guru menyampaikan materi pembelajaran, melainkan bagaimana siswa dapat mempelajari materi pembelajaran sesuai dengan tujuan.

Penggunaan metode yang tepat akan turut menentukan efektifitas dan efisiensi pembelajaran. Pembelajaran perlu dilakukan dengan sedikit ceramah dan metode-metode yang berpusat pada guru, serta lebih menekankan pada interaksi


peserta didik. Penggunaan metode yang bervariasi akan sangat membantu peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran sehingga metode pembelajaran harus dipilih dan dikembangkan untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik (E. Mulyasa, 2005: 107).

Bedasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah cara yang digunakan guru untuk menyajikan materi dan menumbuhkan interaksi dalam proses pembelajaran dengan tujuan agar siswa termotivasi dalam belajar serta dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitasnya sehingga mencapai kompetensi yang diharapkan, baik dari segi kognitif, afektif, maupun psikomotor.

B. Pembelajaran Kolaboratif

Menurut Roberts (2004: 205), “Collaborative is an adjective that implies working in a group of two or more to achieve a common goal, while respecting each individual’s contribution to the whole”. Paz Dennen dalam Roberts (2004: 205), mengemukakan “Collaborative learning is a learning method that uses social interaction as a means of knowledge building”. Selanjutnya Bruffee dalam Roberts (2004: 205), menyatakan bahwa “educators must trust students to perform in ways that the teacher has not necessarily determined a head of time”, serta berpendapat bahwa “collaborative learning therefore implies that (educators) must rethink what they have to do to get ready to teach and what they are doing when they are actually teaching”.

Collaborative learning is an educational approach to teaching and learning that involves groups of learners working together to solve a problem, complete a task, or create a product. Collaborative learning is based on the idea that learning is a naturally social act in which the participants talk among themselves. It is through the talk that learning occurs (Hari Srinivas, 2012: 1).

C. Prestasi Belajar

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, Prestasi berarti hasil yang telah dicapai dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya (Meity Taqdir Qodratillah dkk., 2008: 1213). Definisi lain dari prestasi menurut Hamdani (2011: 137), yaitu hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok. Prestasi tidak akan pernah dihasilkan selama seseorang tidak melakukan kegiatan. Menurut Hamdani (2011: 138-139), prestasi pada dasarnya adalah hasil yang diperoleh dari suatu aktivitas. Adapun belajar pada dasarnya adalah suatu proses yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu, yaitu perubahan tingkah laku. Jadi, prestasi belajar merupakan tingkat kemanusiaan yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak, dan menilai informasi yang diperoleh dalam proses belajar mengajar.

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini tidak bertujuan untuk menguji hipotesis secara kuantitatif, namun lebih bersifat mendeskripsikan data, fakta dan keadaan yang ada di lapangan. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri dari 4 tahap yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Tahap tindakan pada siklus kedua merupakan perbaikan dan pengembangan dari siklus pertama, sehingga dalam penyusunannya harus memperhatikan hasil refleksi pada siklus yang pertama.

B. Lokasi, Waktu dan Subyek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan oleh peneliti di SMK Negeri 2 Klaten yang beralamat di Ds. Senden, Kec. Ngawen, Kab. Klaten pada bulan Maret-April. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas X.TPM-A Jurusan Teknik Pemesinan tahun ajaran 2012/2013. Kelas X.TPM-A berjumlah 32 siswa yang terdiri dari 29 siswa laki-laki dan 3 siswa perempuan.

C. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini diantaranya: (1) observasi, untuk mengukur keaktifan siswa dalam pembelajaran;

(2) tes, untuk mengukur prestasi belajar kognitif siswa; (3) angket, untuk mengetahui pendapat siswa tentang proses pembelajaran Membaca Gambar Sketsa menggunakan Metode Pembelajaran Kolaboratif.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Rangkuman Proses Pelaksanaan Penelitian

Proses pemberian tindakan pada penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus, yaitu siklus I dan siklus II. Masing-masing siklus terdiri dari 4 tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Namun, pada perencanaan untuk siklus II disusun dengan memperhatikan hasil refleksi pada siklus I, sehingga ada suatu perbaikan tindakan dari siklus I.

B. Peningkatan Keaktifan Siswa

Hasil observasi berikut menunjukkan bahwa penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif berdampak positif dalam meningkatkan keaktifan siswa, baik dari ranah afektif maupun psikomotoriknya. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan skor siswa dalam observasi yang dilakukan pada proses pembelajaran di siklus I dan siklus II.

C. Peningkatan Prestasi Belajar Siswa

Hasil tes berikut menunjukkan bahwa penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan penguasaan materi oleh siswa yang ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah siswa yang memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM) mulai dari kegiatan pra siklus, siklus I, dan siklus II.

Hasil tes yang dilakukan setelah kegiatan tindakan siklus II juga menunjukkan adanya peningkatan dari siklus sebelumnya. Nilai rata-rata kelas di siklus II sebesar 8,2, atau meningkat sebanyak 0,4 dibanding siklus I dengan nilai rata-rata kelas sebesar 7,8. Jumlah siswa yang tuntas juga menunjukkan peningkatan, yaitu dari 20 orang (62,50%) di siklus I menjadi 28 orang (87,50%) di siklus II. Meningkatnya jumlah siswa yang tuntas membuat jumlah siswa yang belum tuntas menurun, yaitu dari 12 orang (37,50%) di siklus I menjadi 4 orang (12,50%) di siklus II.


SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

Penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif dalam proses pembelajaran Membaca Gambar Sketsa terbukti dapat meningkatkan keaktifan siswa, baik dari ranah afektif maupun psikomotoriknya. Berdasarkan hasil observasi pada proses pembelajaran siklus I dan siklus II, keaktifan ranah afektif siswa mengalami peningkatan pada rerata persentase skor siswa, yaitu dari 72,63% di akhir siklus I menjadi 78,31% di akhir siklus II. Rerata persentase skor siswa pada hasil observasi keaktifan ranah psikomotorik juga meningkat, yaitu dari 75,81% di akhir siklus I menjadi 79,63% di akhir siklus II.

2. Penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif dalam proses pembelajaran Membaca Gambar Sketsa juga terbukti dapat meningkatkan prestasi belajar kognitif siswa. Berdasarkan hasil tes prestasi belajar kognitif yang dilakukan pada kegiatan pra siklus, siklus I dan siklus II, terjadi peningkatan nilai rata-rata kelas dan jumlah siswa yang memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Nilai rata-rata kelas pada pra siklus sebesar 7,1, kemudian meningkat menjadi 7,8 pada siklus I dan meningkat lagi menjadi 8,2 pada siklus II. Jumlah siswa yang telah mencapai KKM pada pra siklus sebanyak 11 orang (34,38%), meningkat menjadi 20 orang (62,50%) pada siklus I dan meningkat kembali menjadi 28 orang (87,50%) pada siklus II.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan, maka dapat diusulkan saran sebagai berikut:

1. Proses observasi pada penerapan Metode Pembelajaran Kolaboratif sebaiknya dilakukan minimal oleh 2 orang observer yang khusus mengobservasi proses kegiatan dalam diskusi agar hasil observasi lebih akurat lagi.

2. Pemberian post-test pada tiap akhir siklus sebaiknya dilakukan dalam jarak waktu yang tidak terlalu jauh (± 1 minggu) dari kegiatan tindakan, karena tidak tertutup kemungkinan dapat mempengaruhi hasil tes. Post-test yang dilakukan dalam penelitian ini berjarak ± 2 minggu dari kegiatan tindakan, disebabkan jadwal pelajaran berbenturan dengan Ujian Praktik Sekolah dan Ujian Akhir Nasional (UAN) 2012/2013.

Posted on 11.08 by Unknown

1 comment